Meneguhkan Nasionalisme
Sumpah Pemuda lahir dari kesadaran bahwa Indonesia kuat karena beragam. Maka, penyiaran yang baik tidak boleh meminggirkan identitas daerah. Justru dari siaran lokal yang mengangkat musik, tradisi, cerita rakyat, dan tokoh komunitas, kita menemukan makna persatuan yang sebenarnya, kebanggaan terhadap keberagaman yang membentuk Indonesia.
Televisi dan radio lokal, serta kanal digital berbasis komunitas, memiliki peran strategis sebagai penjaga kedaulatan budaya. Ketika budaya daerah tersiar ke ruang nasional, ia bukan hanya memperkaya konten, tetapi juga memperkuat rasa memiliki terhadap bangsa. Di sinilah penyiaran menjadi alat integrasi yang sesungguhnya.
Menjaga Api 1928 di Era Digital
Generasi muda kini hidup di tengah banjir informasi global. Media sosial dan platform digital membuka ruang tanpa batas, tetapi juga membawa risiko akan terkikisnya identitas dan berkurangnya literasi kebangsaan. Dalam kondisi itu, penyiaran nasional harus tampil sebagai akar nilai untuk memastikan bahwa setiap siaran menumbuhkan rasa cinta tanah air dan kesadaran kebangsaan.
Peringatan Hari Sumpah Pemuda menjadi momentum untuk memperbarui komitmen dunia penyiaran bahwa tugas utama penyiaran bukan sekadar menghibur, tetapi juga mendidik, menyatukan, dan memperkuat Indonesia.
Karena sejatinya, penyiaran adalah bentuk nyata dari Sumpah Pemuda yang hidup. Ia diucapkan bukan dalam teks, melainkan dalam suara, gambar, dan pesan yang setiap hari menyapa rakyat Indonesia dari berbagai latar dan budaya.
Selama penyiaran terus memancarkan semangat persatuan, selama itu pula api Sumpah Pemuda akan tetap menyala di ruang dengar dan ruang pikir bangsa.