Perempuan: Melawan Stereotip dan Narasi yang Belum Usai

Febi Ramadhani Rusdin
Febi Ramadhani Rusdin (Foto: Dok Pribadi)

Begitu pula dalam sastra, tubuh perempuan seringkali menjadi metafora untuk kebebasan dan penindasan. Dalam novel-novel Pramoedya Ananta Toer, misalnya, perempuan seperti Nyai Ontosoroh adalah simbol dari perlawanan terhadap kolonialisme dan patriarki. Tubuhnya, yang seharusnya menjadi objek penindasan, justru menjadi sumber kekuatan dan inspirasi. Dalam puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, tubuh perempuan adalah ruang yang misterius dan penuh makna. Ia adalah tanah air, rumah, dan sekaligus pengasingan. 

Tapi pertanyaannya adalah, sampai kapan tubuh perempuan harus menjadi medan pertarungan? Kapan kita bisa melihat tubuh perempuan bukan sebagai sesuatu yang harus diatur, dikontrol, atau ditaklukkan, tetapi sebagai sesuatu yang bebas dan merdeka? Ataukah, cantik (baca:perempuan) itu akan selamanya menjadi luka? Jawabannya mungkin terletak pada kesadaran kita semua, laki-laki maupun perempuan perlu menciptakan sudut pandang yang sama dengan melihat tubuh perempuan bukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek. Tubuh perempuan adalah milik perempuan. Dan hanya perempuan yang memiliki ruang otoritas untuk menentukan apa yang ingin mereka lakukan.

Melawan Stereotip

“Perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi dibentuk menjadi perempuan”. Itulah salah satu kalimat paling terkenal dari Simone de Beauvoir dalam bukunya “The Second Sex”. Beauvoir berusaha mengkritik bagaimana lingkungan sosial menciptakan persepsi, melahirkan ekspektasi atas peran-peran yang musti melekat pada diri perempuan sebagaimana istilah Lippmann (1922) sebagai “pictures in our heads”. Hal inilah yang kemudian memunculkan stereotip yang cenderung melihat dari lensa tradisional yang membatasi perempuan pada peran domestik.

Stereotip gender telah lama membangun tembok tebal bagi perempuan untuk mendapatkan ruang gerak. Stereotip membunuh kepercayaan diri perempuan, kata Coffman, asisten profesor dari Harvard Business School (2019). Stereotip terbentuk dari konstruksi sosial budaya, agama, dan sistem nilai yang berkelindan dan dominan dalam masyarakat. 

Hal tersebut kemudian meminggirkan, membatasi, dan mengotak-kotakkan peran mereka dalam masyarakat. Namun, stereotip gender bukan suatu fenomena yang statis, agresifnya gerakan-gerakan feminis dan peran media yang secara konsisten menyuarakan kesetaraan, anti-diskriminasi, serta ketidakadilan membawa angin segar pada kaum perempuan untuk berperan secara strategis dalam berbagai bidang kehidupan.

Peradaban manusia yang semakin modern, secara perlahan telah berhasil membuka kerang representasi perempuan di ruang publik dan kepemimpinan. Di kancah politik internasional, kita mengenal Angela Merkel, Kanselir Jerman selama hampir dua dekade (2005-2021), ia dikenal sebagai “pemimpin bebas dunia” dan salah satu perempuan paling berpengaruh di abad ke-21. 

Di negara adikuasa Amerika Serikat, hadir seorang Kamala Harris, perempuan kulit hitam pertama yang pernah menjadi Wakil Presiden AS. Di bidang bisnis dan teknologi, dari negara tetangga Australia, perempuan keturunan Asia, Melanie Perkins di usia mudanya menjadi Co-Founder dan CEO Canva dan memimpin tim lebih dari 650 orang di 3 negara berbeda.

Di Indonesia, kita mengenal Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI dalam tiga masa kepemimpinan presiden hingga sekarang. Beliau pernah dinobatkan sebagai salah satu tokoh perempuan berpengaruh di dunia. Atau seorang Retno Marsudi yang selama 10 tahun menjadi garda terdepan menjaga stabilitas hubungan luar negeri Indonesia. Serta tidak melupakan Megawati Soekarnoputri, pemimpin Partai terbesar dan menjadi Presiden perempuan pertama di Republik ini.

Tidak hanya di panggung birokrat dan politik, kita juga perlu menengok bagaimana perjuangan perempuan penggerak di wilayah-wilayah pelosok tanah air. Mereka mungkin jauh dari sorotan media, tetapi apa yang mereka lakukan di ruang-ruang sunyi menjadi manifestasi bahwa perempuan bisa menjadi penggerak di lingkungannya. Sebut saja Barsalina Dida, kepala Kampung Toray, Kabupaten Merauke, di perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Barsalina menjadi penggerak pemberdayaan bagi perempuan-perempuan di Sota dengan peningkatan produk-produk dari pemanfaatan sumber daya alam daerah yang kemudian berdampak pada kesejahteraan ekonomi perempuan Sota. 

Kemudian Aleta Baun yang dikenal dengan Mama Aleta, seorang aktivis lingkungan dan pejuang hak-hak masyarakat adat. Mama Aleta pada tahun 2013 pernah menerima Penghargaan Goldman Environmental Prize, yang sering disebut sebagai "Hadiah Nobel untuk Lingkungan” atas kegigihannya membangkitkan semangat perempuan Pulau Timor dalam mempertahankan wilayahnya dari eksplorasi tambang yang merusak lingkungan.

Editor : Anton Suhartono
Artikel Terkait
Keuangan
23 jam lalu

MNC Life Gelar Literasi Keuangan untuk Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen MNC University

Nasional
2 hari lalu

Bangga! Mahasiswa MNC University Juara 3 Pop Royalty Singing Competition

Nasional
3 hari lalu

MNC University Gandeng ISCA Singapura untuk Perkuat Kompetensi Akuntansi Berstandar Global

Nasional
4 hari lalu

Tim Dosen Peneliti MNC University Gelar Sosialisasi Program PISN di Karet Kuningan Jaksel

Nasional
5 hari lalu

MNC University dan UNIBI Teken MoA, Kolaborasi Tridharma dan Bedah Karya

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal