Perempuan: Melawan Stereotip dan Narasi yang Belum Usai

Febi Ramadhani Rusdin
Febi Ramadhani Rusdin (Foto: Dok Pribadi)

Dalam konteks Indonesia, progres perkembangan dalam beberapa tahun terakhir semakin menampakkan keberpihakan pada kesetaraan gender. Indikator utama dapat dilihat pada capaian Indeks Pembangunan Gender (IPG) Indonesia tahun 2023 memperoleh nilai 91,85 (Databoks, 2024), sering dengan indikator tersebut Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) Indonesia juga mengalami peningkatan pada tahun 2023 dengan memperoleh nilai 76,90 (Kementerian PPPA, 2024). Hal ini tentu sangat patut diapresiasi bahwa upaya yang selama ini dilakukan dalam mendorong partisipasi perempuan membuahkan hasil yang cukup positif. 

Namun demikian, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan-perempuan Indonesia terutama dalam tindakan kekerasan, pemerkosaan hingga pembunuhan, serta pemberdayaan yang perlu untuk terus disuarakan. Sehingga dibutuhkan upaya kolektif dan partisipatif dari seluruh pemangku kepentingan dalam menciptakan lingkungan ideal bagi perempuan. 

Sebagaimana yang dibahasakan oleh Butler (2020) dalam bukunya The Force of Nonviolence, perubahan sosial memerlukan kesadaran kolektif dan tindakan yang konsisten. Oleh karena itu, narasi-narasi baru yang memberdayakan perempuan dan menantang stereotip perlu untuk terus dikuatkan dalam menciptakan masa depan di mana perempuan tidak lagi dibatasi, tetapi dapat berkembang sepenuhnya sebagai individu yang merdeka.

Peran Media

Salah satu aspek yang memiliki peran krusial dalam membentuk realitas sosial adalah keberadaan media. Media, dalam bentuk apapun, telah lama menjadi cermin sekaligus pembentuk opini dan konstruksi sosial. Media telah menjadi bagian integral dan sulit terpisahkan dalam kehidupan manusia. Namun, di balik peran krusial dan kemampuannya dalam menyalurkan informasi dan menyediakan hiburan, media seringkali memperkuat stereotip gender yang justru membatasi ruang gerak manusia.

Theodor Adorno (1991), filsuf dan sosiolog Mazhab Frankfurt, pernah mengkritik industri budaya sebagai mesin yang memproduksi kesadaran palsu. Menurut Adorno, media massa tidak netral, ia adalah alat kekuasaan yang mereproduksi nilai-nilai dominan, termasuk patriarki. Dalam konteks ini, penggambaran simbol-simbol berdasarkan gender menciptakan ketimpangan dan kesenjangan.

Selain Adorno, Stuart Hall, pemikir budaya asal Inggris, menegaskan bahwa media adalah arena pertarungan makna. Representasi gender dalam media bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan hasil konstruksi sosial yang bisa diubah. Namun, perubahan ini memerlukan kesadaran kritis dari para pembuat konten dan audiens. Sayangnya, industri media sering terjebak dalam logika pasar yang mengutamakan rating dan profit, sehingga mengabaikan tanggung jawab sosial yang mereka emban.

Bagaimana kita bisa memutus rantai stereotip gender dalam media? Sebagai akademisi dalam bidang komunikasi, saya berpandangan, Pertama, kita perlu mendorong literasi media yang lebih baik. Masyarakat harus diajarkan untuk membaca media secara kritis, memahami bahwa apa yang mereka lihat bukanlah kebenaran mutlak, melainkan konstruksi yang bisa dipertanyakan.

Kedua, industri media harus didorong untuk mengadopsi prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam produksi konten. Ini bisa dilakukan melalui regulasi yang mewajibkan representasi yang adil, atau melalui insentif bagi media yang berani menantang stereotip.

Ketiga, kita perlu melibatkan lebih banyak perempuan dan kelompok marginal dalam proses produksi media. Seperti dikatakan oleh Bell Hooks, "Representasi adalah bentuk kekuasaan." 

Ketika perempuan dan kelompok marginal memiliki suara dalam media, mereka bisa menciptakan narasi yang lebih inklusif dan membebaskan. Terakhir, pendidikan gender harus menjadi bagian integral dari kurikulum sekolah dan perguruan tinggi, agar generasi muda tumbuh dengan pemahaman yang lebih baik tentang kesetaraan.

Media memiliki kekuatan besar untuk membentuk cara kita melihat dunia dan diri kita sendiri. Namun, kekuatan ini bisa menjadi pedang bermata dua. Jika digunakan dengan bijak, media bisa menjadi alat untuk mendekonstruksi stereotip dan membangun masyarakat yang lebih adil. Namun, jika dibiarkan terjebak dalam logika pasar dan kekuasaan, media hanya akan menjadi alat penindasan baru.

Editor : Anton Suhartono
Artikel Terkait
Keuangan
3 hari lalu

MNC Life Gelar Literasi Keuangan untuk Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen MNC University

Nasional
4 hari lalu

Bangga! Mahasiswa MNC University Juara 3 Pop Royalty Singing Competition

Nasional
5 hari lalu

MNC University Gandeng ISCA Singapura untuk Perkuat Kompetensi Akuntansi Berstandar Global

Nasional
6 hari lalu

Tim Dosen Peneliti MNC University Gelar Sosialisasi Program PISN di Karet Kuningan Jaksel

Nasional
7 hari lalu

MNC University dan UNIBI Teken MoA, Kolaborasi Tridharma dan Bedah Karya

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal