Akhirnya, pada 2 November 1945, Soekarno dan Brigadir Bethell sebagai perwakilan serta pemimpin dari sekutu melakukan perundingan.Kegiatan itu dilakukan dengan tujuan meredakan suasana yang memanas.
Sebagai awal pertempuran Ambarawa, perundingan itu menghasilkan kesepakatan, bahwa Sekutu boleh pergi ke Magelang, Jalan raya Semarang-Ambarawa dibuka untuk umum.
Namun, dengan angkuhnya sekutu mengabaikan perjanjian yang sudah disepakati dan justru memanfaatkannya. Sekutu yang diperbolehkan ke Magelang menambahkan pasukan serta pasokan senjata.
Kala itu, Indonesia yang dipimpin oleh Jenderal Besar Raden Soedirman harus berhadapan dengan pasukan sekutu/Inggris yang dilengkapi dengan senjata dan peralatan yang lebih canggih, serta jumlah pasukan yang lebih banyak.
Pada akhirnya, pertempuran pertama pecah di Ambarawa pada 20 November 1945. TKR yang berada di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara sekutu yang telah menyatakan perang.
Pasukan sekutu yang berada di Magelang pun mulai ditarik ke Ambarawa dengan lindungan pesawat tempur pada tanggal 21 November. Namun pada tanggal 22 November pasukan sekutu mulai melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa.
Hal itu berhasil memukul mundur pasukan TKR ke kuburan Belanda, Mereka pun terpaksa bertahan di sana dengan membentuk garis medan sepanjang rel kereta api, yang membelah kota Ambarawa.
Pasukan TKR yang berada di Magelang pun melakukan serangan fajar, dengan tujuan untuk memukul mundur sekutu dari desa Pingit dan merebut desa-desa disekitarnya, di bawah pimpinan Imam Androngi.
Dalam pertempuran Ambarawa, dekutu dikepung oleh 3 Batalyon yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalyon 10 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Suharto, batalyon 8 di bawah pimpinan Mayor Sarjono, dan Batalyon Sugeng.
Tidak berniat menyerah, sekutu berusaha mematahkan kepungan dengan mengancam keududkan pasukan Indonesia dengan tank-tanknya. Pasukan pun terpaksa kembali mundur ke Bedono.