Dia menjelaskan, alasan-alasan objektif dimaksud dapat berupa potensi instabilitas keamanan, potensi pelanggaran hukum: baik dalam terkait konten kampanye yang oleh beberapa pakar bisa dikualifikasi makar, pelanggaran hukum pemilu, khususnya larangan penyebaran kebencian dan permusuhan, maupun dalam konteks waktu kampanye.
“Penggunaan alasan-alasan tersebut merupakan hak subjektif institusi keamanan yang bertolak dari analisis situasi dan potensi destruktif lainnya dan dibenarkan oleh UU 9/1998 dan peraturan turunannya,” ujar Hendardi.
Dia melanjutkan, sebagai hak subjektif, jika masyarakat tidak menerima langkah pembatalan, maka bisa mempersoalkannya melalui mekanisme hukum.
Polisi dengan bekal sejumlah regulasi seperti UU 9/1998, Peraturan Pemerintah Nomor 60/2017 tentang Tata Cara Perizinan dan Pengawasan Kegiatan Keramaian Umum, Kegiatan Masyarakat Lainnya, dan Pemberitahuan Kegiatan Politik, dan sejumlah aturan lain, memiliki kewenangan melakukan pembatalan suatu kegiatan.
Menurut Hendardi, untuk menjaga akuntabilitas kerja, aparat keamanan harus menyampaikan alasan-alasan pembatalan itu pada warga negara/kelompok yang hendak menyelenggarakan kegiatan.
Sementara untuk menghindari kegaduhan berkelanjutan, warga negara/kelompok masyarakat juga diharapkan memilih diksi kampanye yang tidak memperkuat kebencian pada pasangan calon lain, karena seharusnya pemilihan presiden adalah kontestasi gagasan.
”Warga harus disuguhi informasi alasan-alasan faktual untuk memilih atau tidak memilih seorang calon. Bukan diprovokasi dengan slogan yang tidak mencerdaskan,” kata dia.