"Kalau dalam praktik pidana normal kita kenal secara teoritis apa yang kita sebut dengan penggabungan perkara, ada kumulasi subjektif, ada kumulasi objektif. Permohonan ini kalau misal mau dinyatakan tidak dapat diterima karena katakanlah alat buktinya tidak cukup, saya kira mustinya itu yang dijadikan dasar di dalam pertimbangan," tuturnya.
Tak cuma itu, dalam persidangan, ada lebih dari 7 ahli yang dihadirkan untuk menerangkan tentang penetapan tersangka harus punya kaitan atau korelasi dengan pasal yang disangkakan, begitu juga dengan bukti. Namun, hakim seolah tak mendengarkan pendapat ahli tersebut.
"Seandainya dalam pertimbangan tadi yang dikemukakan (berdasarkan pendapat ahli sehingga tak menerima praperadilan), kami senang hati menerimanya. Hakim sudah menyebut sejumlah ahli dihadirkan, tapi apakah pendapat ahli sama sekali tidak dipertimbangkan, seolah buat saya ini bentuk pelecehan baru terhadap proses persidangan," kata dia.
Dia menambahkan, dalam pertimbangan hakim, terdapat pula yang justru membuat pihaknya merasa ambigu, khususnya berkaitan bukti permukaan yang cukup. Pertimbangan hakim hanya didasarkan pada masalah teknis dan administratif belaka.
"Pertama ada pergulatan intelektual, perdebatan intelektual dalam persoalan ini, tetapi hakim memutus dengan cara yang enggak jelas bagaimana menilainya, apakah itu intelektual atau tidak," ucap Maqdir.