Moeis memperjuangkan nasib rakyat Indonesia dengan berbagai cara. Saat berada di Belanda, dia mempengaruhi tokoh-tokoh politik di Negeri Kincir Angin itu untuk membangun sekolah tinggi teknologi di Indonesia. Berkat perjuangannya, sekolah itu berhasil didirikan dan saat ini dikenal dengan nama Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pulang dari Belanda, Abdul Moeis meneruskan karier jurnalistiknya dengan bekerja di Harian Neraca. Dia juga pernah memimpin Harian Utusan Melayu dan Perobahan. Lewat surat kabar itu, Moeis menyebarkan tulisannya yang melawan penjajahan Belanda.
Moeis sempat ditangkap dan diasingkan ke Garut pada 1927 karena terlibat peristiwa pemogokan massal di Yogyakarta. Selama di Garut, Moeis menulis sebuah karya sastra populer yang berjudul Salah Asuhan.
Pada masa pendudukan Jepang, nama Abdul Moeis jarang terdengar akibat menderita suatu penyakit. Pasca-kemerdekaan, namanya kembali muncul. Moeis bergabung ke Majelis Persatuan Perjuangan Priangan yang berpusat di Wanaraja.
Abdul Moeis mengembuskan napas terakhirnya pada 17 Juni 1959 di Bandung.