Sebelum terjun ke politik praktis, Deddy aktif di berbagai organisasi sosial dan advokasi. Ia ikut mendirikan Koalisi Anti Utang pada tahun 2000, sebuah gerakan yang fokus pada kemandirian ekonomi dan kritik terhadap kebijakan pinjaman luar negeri. Selain itu, ia juga berkiprah dalam komunitas yang memperjuangkan hak-hak buruh dan isu lingkungan hidup.
Dari sisi profesional, Deddy pernah menduduki jabatan komisaris independen di sejumlah perusahaan besar, antara lain PTPN III, PT Waskita Beton Precast, dan PT Berkah Multi Cargo. Pengalaman tersebut memperkaya perspektifnya dalam mengawasi BUMN ketika ia masuk ke Komisi VI DPR.
Terlepas dari kontroversi “rakyat jelata”, kiprah politik Deddy Sitorus tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjangnya sebagai aktivis dan politisi. Ia adalah representasi politisi yang tumbuh dari dunia advokasi lalu masuk ke politik praktis, membawa idealisme dan gagasan. Namun, kasus ucapannya juga memberi pelajaran penting tentang komunikasi politik.
Seorang wakil rakyat harus berhati-hati dalam memilih kata. Bahasa yang keluar dari seorang anggota DPR tidak hanya mewakili dirinya, tetapi juga institusi yang lebih besar. Dalam era digital, satu kata bisa direkam, dipotong, dan disebarkan secara luas, sehingga persepsi publik bisa terbentuk dalam hitungan detik.
Profil Deddy Sitorus anggota DPR yang sebut dirinya berbeda dengan rakyat jelata memperlihatkan paradoks antara kiprah panjang seorang politisi dengan kesalahan komunikasi yang menimbulkan kontroversi. Ia memiliki rekam jejak pendidikan, pengalaman organisasi, dan karier politik yang patut dicatat. Namun, ucapannya juga menunjukkan betapa sensitifnya hubungan antara wakil rakyat dan masyarakat.