JAKARTA, iNews.id - Profil Deddy Sitorus anggota DPR yang sebut dirinya berbeda dengan rakyat jelata kini ramai diperbincangkan publik. Ucapannya yang menyebut rakyat kecil dengan istilah “rakyat jelata” viral di media sosial dan menuai kritik luas. Banyak warganet menilai diksi tersebut tidak pantas keluar dari seorang wakil rakyat, meski Deddy sendiri menyatakan ucapannya sering dipotong dan disalahartikan.
Terlepas dari kontroversinya, perjalanan politik Deddy tidaklah singkat. Ia sudah cukup lama berkecimpung di dunia sosial, advokasi, dan politik nasional.
Deddy Yevri Hanteru Sitorus lahir pada 17 November 1970 di Pematangsiantar, Sumatera Utara. Ia berasal dari latar belakang pendidikan yang kuat dan sudah lama aktif dalam kegiatan advokasi. Pada Pemilu 2019, ia berhasil meraih 34.709 suara di daerah pemilihan Kalimantan Utara.
Dari perolehan itu, Deddy melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR RI dan duduk di Komisi VI DPR yang membidangi perdagangan, investasi, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lima tahun kemudian, tepatnya pada Pemilu 2024, Deddy kembali dipercaya masyarakat Kalimantan Utara dengan perolehan suara yang lebih besar, yakni 59.335 suara. Keberhasilan ini mengukuhkan posisinya sebagai salah satu politisi PDI Perjuangan yang cukup berpengaruh.
Selain menjadi anggota DPR, ia juga dipercaya sebagai Ketua DPP PDI Perjuangan. Di posisi tersebut, Deddy kerap tampil memberi pandangan terkait isu-isu nasional.
Kontroversi yang menyeret namanya bermula dari sebuah acara televisi yang menayangkan pernyataannya. Dalam forum tersebut, Deddy menolak membandingkan kehidupan anggota DPR dengan masyarakat berpenghasilan rendah. Ia menyebut tukang becak dan buruh sebagai “rakyat jelata” serta mengatakan perbandingan gaji DPR dengan UMR adalah “sesat logika”.
Bagi sebagian pihak, pernyataan itu dianggap sebagai bentuk kejujuran yang ingin menekankan perbedaan tanggung jawab antara anggota DPR dan rakyat biasa. Namun, mayoritas warganet menilai ucapan tersebut merendahkan. Kritik bermunculan karena istilah “rakyat jelata” dianggap mengandung nuansa diskriminatif dan menciptakan jarak antara pejabat dan masyarakat yang diwakilinya.
Selain itu, Deddy juga sempat menyinggung soal tunjangan rumah bagi anggota DPR yang nilainya mencapai Rp 50 juta per bulan. Pernyataan ini memicu perdebatan lebih lanjut tentang keadilan sosial dan pengeluaran negara untuk pejabat publik. Deddy menegaskan bahwa yang ia sampaikan bukanlah bentuk penghinaan terhadap rakyat, melainkan penjelasan mengenai konteks kerja dan fasilitas anggota DPR. Meski demikian, persepsi publik sudah terlanjur terbentuk sehingga ucapan tersebut menjadi sorotan nasional.
Perjalanan pendidikan Deddy cukup panjang dan terarah. Ia menempuh pendidikan dasar hingga SMA di Pematangsiantar, lulus dari SMA Negeri 3 pada tahun 1988. Kemudian ia melanjutkan studi di Universitas Simalungun dan meraih gelar Sarjana Pertanian pada tahun 1996.
Keinginannya untuk memperdalam ilmu membawanya ke Inggris. Di Kingston University, ia berhasil meraih gelar Master of Arts pada tahun 2006 dalam bidang Political Communication, Advocacy & Campaigning. Bekal pendidikan ini memberinya landasan akademis yang kuat dalam berkiprah di dunia politik dan komunikasi publik.