JAKARTA, iNews.id - Profil Pakubuwono IV menjadi sorotan penting dalam sejarah Jawa karena kepemimpinannya yang penuh tantangan dan ambisi. Lahir dengan nama asli Raden Mas Subadya pada 2 September 1768, ia naik takhta sebagai Susuhunan Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada 29 September 1788 dalam usia yang sangat muda, sekitar 20 tahun.
Dalam sejarahnya, Pakubuwono IV dikenal sebagai sosok yang tegas, berani, dan berusaha memperkuat kedudukan keraton Surakarta di tengah tekanan kolonial Belanda.
Pakubuwono IV berasal dari Wangsa Mataram, putra dari Pakubuwono III dan permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Kencana yang merupakan keturunan dari Sultan Demak. Kelahirannya dan garis keturunannya menempatkannya dalam jalur penting dinasti Jawa yang berakar pada tradisi Kesultanan Demak dan Mataram.
Setelah wafatnya sang ayah, ia naik takhta dengan gelar lengkap Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping IV.
Karena usianya yang masih muda dan parasnya yang tampan, masyarakat kala itu memberinya julukan “Sunan Bagus”. Naiknya Pakubuwono IV menandai awal dari periode baru dalam sejarah Surakarta, di mana kekuasaan raja kembali mencoba memperkuat kedaulatan budaya dan politik di tengah meningkatnya pengaruh kolonial Eropa.
Sebagai raja muda, profil Pakubuwono IV mencerminkan karakter pemimpin yang memiliki keberanian tinggi. Ia dikenal bercita-cita besar untuk memperkuat posisi Surakarta dan mengurangi ketergantungan pada Belanda. Namun, tantangan datang dari berbagai arah — mulai dari intrik internal di dalam keraton, pejabat yang berseberangan, hingga intervensi kolonial yang semakin mendalam.
Salah satu peristiwa penting dalam masa pemerintahannya adalah Pakepung, atau pengepungan Keraton Surakarta pada November 1790. Saat itu, pasukan VOC bersama Keraton Yogyakarta di bawah Hamengkubuwono I dan Kadipaten Mangkunegaran melakukan tekanan besar terhadap Surakarta. Mereka menuduh Pakubuwono IV menimbulkan instabilitas politik di Jawa.
Puncaknya, keraton dikepung dari berbagai arah hingga akhirnya pada 26 November 1790, Pakubuwono IV menyerah dengan syarat tidak digulingkan dari takhta. Ia juga harus melepaskan sejumlah penasihatnya yang dianggap menentang kebijakan kolonial. Peristiwa ini menegaskan betapa beratnya beban yang dipikul oleh seorang raja muda di tengah permainan politik antara kekuasaan lokal dan kolonial.
Dalam masa pemerintahannya, Pakubuwono IV juga dikenal memiliki ambisi besar terhadap Keraton Yogyakarta. Ia ingin mengembalikan supremasi Surakarta sebagai pusat kekuasaan utama di Jawa. Walaupun secara hukum Yogyakarta dan Surakarta memiliki kedudukan sejajar, ia tetap menyimpan cita-cita untuk menyatukan kekuasaan di bawah Kasunanan.
Selain itu, Pakubuwono IV juga sempat berkorespondensi dengan berbagai pihak, termasuk dengan Inggris dan pasukan Sepoy India, untuk memperluas pengaruhnya. Ketika Inggris mengambil alih Jawa dari Belanda pada 1811, ia berusaha menjaga kestabilan keraton meski harus berhadapan dengan kekuasaan kolonial baru di bawah Thomas Stamford Raffles. Meski tekanan datang bertubi-tubi, ia berhasil mempertahankan tahtanya hingga akhir hayatnya.
Selain dikenal sebagai raja yang berani, profil Pakubuwono IV juga mencerminkan sosok religius dan berwawasan luas. Ia dikenal sangat taat menjalankan ajaran Islam serta memberi ruang besar bagi ulama dalam struktur pemerintahan keraton.
Langkah ini menjadi ciri khas kepemimpinannya yang berbeda dibanding raja-raja sebelumnya yang lebih kental dengan unsur mistik kejawen.
Pakubuwono IV juga dikenal sebagai tokoh intelektual yang berkontribusi dalam perkembangan sastra Jawa. Salah satu karya besar yang lahir pada masanya adalah Serat Wulangreh, yang berisi ajaran moral dan tata krama bagi kalangan bangsawan.
Karya ini hingga kini masih dijadikan rujukan dalam pendidikan etika dan budi pekerti masyarakat Jawa.
Melalui upaya tersebut, Pakubuwono IV berhasil memperkuat posisi Kasunanan Surakarta sebagai pusat budaya dan spiritual, bukan hanya sebagai kekuasaan politik semata.