Hubungan antara Pakubuwono IV dengan pihak kolonial tidak selalu harmonis. Ia kerap berseberangan dengan pejabat VOC yang berusaha mengendalikan kebijakan keraton. Namun, karena kekuatan militer VOC lebih dominan, Surakarta harus menempuh jalan kompromi agar tetap bertahan.
Pergantian kekuasaan dari VOC ke pemerintah Hindia Belanda, lalu ke tangan Inggris, dan kembali lagi ke Belanda, membuat posisi keraton semakin sulit. Di tengah gejolak itu, Pakubuwono IV berusaha menjaga agar Surakarta tetap memiliki wibawa di mata rakyat dan kerajaan tetangga seperti Yogyakarta serta Mangkunegaran.
Meski harus banyak menyesuaikan diri dengan kondisi politik yang berubah-ubah, Pakubuwono IV tetap berhasil mempertahankan kedaulatan simbolik keraton. Ia memerintah dengan kehati-hatian, menyeimbangkan antara diplomasi dan nilai-nilai tradisional Jawa yang dipegang teguh.
Pakubuwono IV memerintah selama lebih dari tiga dekade, hingga wafat pada 1 Oktober 1820. Ia dimakamkan di Astana Imogiri, Yogyakarta, bersama para pendahulunya. Sepeninggalnya, tahtanya diteruskan oleh putranya, Pakubuwono V.
Masa pemerintahannya dikenang sebagai periode yang penuh dinamika politik, konflik, dan pembaharuan. Ia dianggap sebagai simbol raja Jawa yang mencoba berdiri tegak di tengah arus besar kolonialisme, tanpa sepenuhnya kehilangan jati diri kejawen dan keislamannya.
Profil Pakubuwono IV menggambarkan sosok raja muda yang penuh semangat, cerdas, dan berani menghadapi tantangan besar. Dari perjuangannya melawan dominasi kolonial, ambisinya mempersatukan Jawa, hingga perannya dalam bidang keagamaan dan kebudayaan, semuanya menunjukkan kompleksitas seorang pemimpin yang hidup di masa transisi besar dalam sejarah Nusantara.