Pada tahap awal ini, MPR melalui Badan Pengkajian MPR terlebih dulu akan menyusun substansi dari Pokok- Pokok Haluan Negara. Substansi tersebut harus mampu menggambarkan wajah Indonesia pada 2045, ketika usia kemerdekaan Indonesia genap satu abad dan mampu menjawab kebutuhan Indonesia ke depan yang relevan dengan tatanan kehidupan bernegara di era milenial yang sangat dipengaruhi oleh revolusi industri 4.0.
Kemudian, mampu menggambarkan megatren dunia yang meliputi kemajuan teknologi, perubahan geopolitik, perubahan geoekonomi, demografi dunia, urbanisasi global, perdagangan internasional, keuangan global, kelas pendapatan menengah, persaingan sumber daya alam, dan perubahan iklim, yang semuanya akan berpengaruh pada pembangunan Indonesia; mampu memberikan arahan pada semua bidang pembangunan untuk menjawab tantangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau lebih sering dikenal dengan Sustainable Development Goals atau atau SDGs.
Setelah MPR berhasil menyusun substansi dari Pokok-Pokok Haluan Negara seperti yang saya gambarkan tadi, barulah kita memusyawarahkan mengenai bentuk hukum apa yang paling pas dilekatkan pada Pokok-Pokok Haluan Negara tersebut, apakah dalam bentuk Ketetapan MPR atau cukup Undang- Undang saja. Tanpa adanya substansi, maka perdebatan mengenai gagasan menghadirkan kembali GBHN akan menjadi sia-sia. Dengan perkataan lain, bagaimana mungkin kita memperdebatkan baju hukumnya, sementara substansi yang akan diberi baju hukum itu sendiri belum ada.
MPR masa jabatan 2019- 2024 selain menerima rekomendasi untuk menghadirkan kembali GBHN dan melakukan penataan wewenang MPR, juga menerima rekomendasi lainnya, yakni: penataan wewenang dan tugas MPR ke depan; penataan wewenang DPD, penataan kekuasaan kehakiman, penataan untuk mempertegas sistem presidensial, dan penataan sistem hukum dan peraturan perundang- undangan dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara. Dan sarana untuk melaksanakan beberapa poin rekomendasi tersebut, adalah melalui amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Dalam kerangka menghimpun aspirasi dan membuka ruang diskusi seluas-luasnya, perlu saya sampaikan di sini mengenai dinamika yang berkembang terkait wacana amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945. MPR setidaknya telah mengidentifikasi ada 6 (enam) aspirasi yang berkembang terkait agenda perubahan konstitusi, yaitu:
Pertama: amandemen terbatas, perubahan terkait pembentukan Pokok-pokok Haluan Negara atau pola pembangunan model GBHN, kedua: penyempurnaan terhadap UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen; ketiga: perubahan dan kajian menyeluruh terhadap UUD NRI Tahun 1945 hasil amandemen; keempat: kembali ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959; kelima: kembali ke UUD 1945 yang asli, kemudian diperbaiki dan disempurnakan melalui addendum dan keeenam: tidak perlu ada amandemen konstitusi.
Menyikapi beragam wacana dan aspirasi yang berkembang tersebut, MPR akan menghimpun, mengolah dan melakukan kajian secara mendalam, dan tidak terburu-buru “menghakimi”. MPR tetap menempatkan diri sebagai rumah kebangsaan yang mengayomi beragam pikiran dan kehendak, karena MPR menyadari sepenuhnya bahwa perbedaan pendapat adalah keniscayaan dalam demokrasi. Gagasan dan pemikiran yang berbeda adalah kekayaan perspektif, dan bukan keramaian yang harus disenyapkan.
Urusan mengubah konstitusi sebagai hukum dasar, mesti dilakukan secara hati-hati dan cermat.
Jika kita merujuk pada ketentuan UUD NRI Tahun 1945, jalan menuju perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 masih panjang dan tidak mudah. Untuk sekedar mengusulkan perubahan pasal- pasal di dalam Undang-Undang Dasar saja memerlukan sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR atau 237 pengusul. Kuorum rapat untuk membahas usul perubahan harus dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR atau 474 anggota. Dan, usul perubahan harus disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu dari seluruh anggota MPR atau 357 anggota.
Namun, yang jauh lebih penting, perubahan Undang- Undang Dasar bukanlah semata-mata perhitungan matematis sebagaimana diatur di dalam Pasal 37, tetapi memerlukan konsensus politik seluruh kekuatan politik. Tidak boleh ada voting dalam urusan hukum dasar ini. Dan, yang jauh lebih penting adalah seluruh rakyat Indonesia memang membutuhkannya.
Selaras dengan hal tersebut, Pimpinan MPR telah melakukan kunjungan silaturahim kebangsaan kepada para tokoh bangsa dan pimpinan partai politik, antara lain Ibu Megawati Soekarnoputri, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Bapak Jusuf Kalla, Bapak Ma’ruf Amin, Pimpinan PKS, Pimpinan PAN, dan Nasdem. Sedangkan tokoh agama yang telah dikunjungi oleh Pimpinan MPR adalah Pimpinan PBNU, Pimpinan Muhammadiyah, Pimpinan PHDI. Kegiatan silaturahim kebangsaan ini telah, sedang, dan masih akan terus dilakukan oleh Pimpinan MPR kepada tokoh bangsa, tokoh agama dan pimpinan partai politik lainnya, guna menghimpun dan memperkaya perspektif untuk membahas dan menyikapi berbagai isu dan persoalan kebangsaan.
Selain menjalankan amanah Rekomendasi MPR Periode 2014-2019 tersebut, ada beberapa isu strategis terkait MPR yang memerlukan perhatian kita bersama, antara lain implementasi tugas konstitusional MPR untuk menyerap aspirasi masyarakat, daerah, dan lembaga negara.