UU itu menjadi landasan hukum bagi langkah-langkah pembaruan dan penataan atas penyelenggaraan pengusahaan migas di Indonesia. Asas dan tujuan UU tersebut pun mulia, yaitu agar penyelenggaraan kegiatan usaha migas berjalan efisien, menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional serta meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional.
Namun, sebuah peristiwa monumental terjadi pada 13 November 2012. Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan sejumlah tokoh terhadap UU Migas. Dalam putusan bernomor 36/PUU-X/2012, Ketua MK Mahfud MD menyatakan, keberadaan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas bertentangan dengan semangat UUD 1945.
Setelah itu, pemerintah membentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas. SKK Migas mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama (KKS).
Namun, setelah 9 tahun berlalu, situasi yang dihadapi oleh SKK Migas menurut hemat penulis perlu dicarikan jalan keluar. SKK Migas menghadapi begitu banyak tantangan dalam mewujudkan tata kelola industri demi ketahanan energi nasional.
Yang utama adalah status SKK Migas sebagai lembaga sementara. Ini tidak lepas dari posisi SKK Migas yang hanya diatur oleh aturan setingkat peraturan presiden.
Untuk itu, mau tidak mau, dasar hukum kelembagaan permanen SKK Migas harus diatur kembali di dalam aturan setingkat UU. Sejatinya pada tahun 2019, sudah mengemuka di berbagai media keinginan DPR mengatur SKK Migas dalam revisi UU Migas.
Salah satu wujudnya adalah Badan Usaha Khusus Migas di mana lembaga itu melakukan kegiatan usaha hulu migas dengan modal dan kekayaan dimiliki oleh negara. Pemerintah pada saat itu, menyampaikan bahwa SKK Migas akan dapat memiliki participating interest atas aset-aset hulu migas di Indonesia, walaupun hanya sebatas sebagai mitra.
Oleh karena itu, penulis menilai pemerintah dan DPR harus bersama-sama berkomitmen menjadikan SKK Migas sebagai lembaga dengan dasar hukum setingkat UU, bukan hanya lembaga sementara.