Jurnalis Rosihan Anwar mengungkapkan, Sutan Sjahrir dapat menangkap siaran-siaran berita luar negeri yang tidak disiarkan Jepang dengan menggunakan radio tersebut. Termasuk siaran dari radio Brisbane yang dipancarkan Pemerintah Hindia Belanda dalam pembuangan di Australia.
“Dari siaran itu, Sjahrir bahkan mendengarkan informasi tentang teman-temannya di daerah pembuangan,” cerita Rosihan Anwar dalam bukunya berjudul "Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya".
Satu ketika Sjahrir mendengar berita yang dikumandangkan sebuah stasiun radio milik Sekutu dan mengabarkan Jepang telah menyerah kepada tentara Sekutu. Jepang akhirnya menyerah setelah pemboman atom oleh Amerika Serikat di Kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945.
Setelah mendengar informasi Jepang menyerah kepada sekutu, Sjahrir mengabarkan kepada rekan-rekannya di antaranya yakni, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh.
Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut kepada sekutu, golongan muda pejuang Indonesia mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi.
Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Golongan muda tidak menyetujui rapat itu mengingat PPKI merupakan badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa Indonesia sendiri, bukan pemberian Jepang.