Salah satu poin penting lainnya bahwa mubahalah merupakan praktik keagamaan, bukan tindakan pidana. Pemohon melakukan mubahalah sebagai bentuk pertanggungjawaban spiritual, bukan menyebarkan kebohongan. Oleh karena itu, niat pemohon tidak seharusnya dianggap sebagai kejahatan.
Dalam proses hukum, pemohon hanya menjadi narasumber dalam wawancara video dan tidak terbukti sebagai pengunggah atau penyebar konten. Maka, pertanggungjawaban pidana atas konten itu tidak bisa dibebankan kepada dirinya.
Poin selanjutnya menyatakan tidak ada bukti pemalsuan atau manipulasi informasi terkait ijazah Presiden, karena jaksa tidak melakukan verifikasi forensik terhadap bukti tersebut.
Pemohon juga menggarisbawahi bahwa peradilan tidak berjalan secara imparsial, mengingat posisi Presiden yang rawan terhadap intervensi politik. Ditambah lagi, pemohon tidak didampingi penasihat hukum di tingkat banding, yang melanggar hak pembelaan dan prinsip fair trial.
Masalah keaslian ijazah, sebagai pusat tuduhan “berita bohong”, juga dinilai tidak diteliti secara forensik, menjadikan unsur pidana tidak terbukti secara hukum.
Selain itu, pemohon menyatakan bahwa aparat penegak hukum mengabaikan prinsip ultimum remedium, yakni pendekatan non-pidana harus lebih diutamakan dalam kasus opini pribadi atau ekspresi agama.