Skenario Menyelamatkan Garuda

Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya Rio Christiawan. (Foto: dok. Sindonews).

Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya

MASKAPAI penerbangan Garuda Indonesia berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan setelah utangnya diketahui melampaui ekuitas dan valuasi perusahaan. Garuda diberitakan mengalami kerugian lebi dari 100 juta dolar AS per bulan. Utang perusahaan pun telah melebihi ekuitas, nilainya sebesar Rp70 triliun. Arus kas Garuda hanya cukup untuk bertahan dalam waktu singkat, kondisi ini merupakan situasi yang serius mengingat beban utang dan biaya tetap (fix cost) yang tinggi.

Di tengah situasi pelik ini, pailit jelas bukan opsi yang tepat. Mengingat sebagai perusahaan terbuka, jika Garuda pailit maka akan memengaruhi kepercayaan investor dan masyarakat terhadap perusahaan penerbangan setelah sebelumnya maskapai Merpati Nusantara yang dikelola BUMN juga berhenti beroperasi.

Selain itu jika Garuda sampai pailit maka tentu akan berdampak pada kerugian masyarakat luas. Ini tak berlebihan sebab sebagai perusahaan terbuka saham Garuda juga dimiliki oleh publik. Di samping itu sebagai satu-satunya maskapai penerbangan yang dimiliki oleh BUMN dengan rute operasional paling luas, Garuda memiliki nilai strategis untuk dipertahankan. Persoalan pada maskapai ini jelas bukan pada sektor operasional, namun lebih pada keuangan.

Rasio kondisi utang Garuda berbanding pendapatan dan nilai aset tidak ideal lantaran kondisi utang jauh lebih besar. Kondisi Garuda ini dalam hukum kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang disebut over leverage.

Garuda masih memiliki pendapatan dari operasional, demikian juga market share juga masih terbilang tinggi dibanding maskapai lain. Kondisi pandemi Covid-19 memengaruhi turunnya pendapatan Garuda. Pada kondisi ini persoalan utamanya adalah beban biaya pasti, termasuk pembayaran bunga pinjaman, angsuran utang pada pihak ketiga serta biaya pasti lainnya yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Secara historikal situasi ini sebenarnya sudah dapat diprediksikan sejak Garuda melakukan restatement laporan keuangan pada 2019 untuk tahun buku 2018. Kala itu dalam materi paparan publik yang disampaikan Garuda dalam keterbukaan informasi BEI, setelah ada penyesuaian pencatatan maskapai penerbangan ini merugi 175 juta dolar AS atau setara Rp2,45 triliun (kurs Rp14.004/dolar), ada selisi 180 juta dolar AS dari yang disampaikan dalam laporan keuangan perseroan tahun buku 2018. Pada 2018 perseroan melaporkan untung 5 juta dolar AS atau setara Rp70,02 miliar.

Selain laporan laba-rugi, dalam penyajian ulang (restatement) laporan keuangan 2018 ini nilai aset perseroan yang tercatat juga berubah menjadi 4,17 miliar dolar AS dari sebelumnya tercatat 4,37 miliar dolar AS, atau terdapat selisih 204 juta dolar AS. Demikian pula total liabilitas yang berkurang 24 juta dolar AS menjadi 3,44 miliar dolar AS.

Total ekuitas turun 180 juta dolar AS menjadi 730 juta dolar AS. Pada pos pendapatan lain-lain bersih, juga disajikan lagi dengan angka 38,9 juta dolar AS dari sebelumnya 278,8 juta dolar AS. Ini menggambarkan terjadi penyusutan pendapatan sebesar 239 juta dolar AS. Mengacu pada data di atas maka kondisi over leverage di tubuh Garuda saat in sudah kronis dan telah terakumulasi cukup lama.

Editor : Zen Teguh
Artikel Terkait
Nasional
7 hari lalu

Puan Pastikan DPR bakal Bahas Polemik Utang Kereta Cepat Whoosh 

Nasional
12 hari lalu

Presiden Prabowo Tiba di Korea Selatan, Siap Hadiri KTT APEC 2025

Nasional
14 hari lalu

Purbaya Buka Suara soal Aturan Pemda Bisa Ngutang ke Pusat

Bisnis
15 hari lalu

Utang RI Sentuh Rp9.138 Triliun, Purbaya Siapkan Strategi Ini

Nasional
18 hari lalu

Purbaya Respons Tuntutan 1.900 Eks Karyawan BUMN Kertas Leces 

Berita Terkini
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
Network Updates
News updates from 99+ regions
Personalize Your News
Get your customized local news
Login to enjoy more features and let the fun begin.
Kanal