“Jadi, kalau mau, sebenarnya saya tidak terlalu tertarik bahas itu. Saya malah lebih tertarik bagaimana caranya kalau ada supir truk nyogok supir forklift di pelabuhan juga diambil gitu loh. Itu kan bukan kewenangan KPK? Iya, makanya Undang-Undang KPK-nya diganti dengan yang lebih baik, kemudian Undang-Undang Tipikor-nya diganti,” ujar Saut.
Menurut dia, bukan soal besar kecilnya uang yang dikorupsi maupun penerapan hukuman mati. Akan tetapi, ini lebih bagaimana penegak hukum itu bisa membawa orang-orang yang melakukan korupsi tersebut ke pengadilan dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Korupsi tidak besar kecil, tidak soal bunuh membunuh atau hukuman mati tetapi bagaimana kita bisa membawa setiap orang yang bertanggungjawab besar atau kecil ke depan pengadilan. Makanya saya bilang, jangan terlalu main di retorika-retorika, main lah yang membuat Indonesia lebih sustain berubah secara substantif,” tuturnya.
Dia lantas mencontohkan negara-negara yang mempunyai skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tinggi sudah mulai mengajarkan untuk pencegahan korupsi sejak dini.
“Jadi, saya tidak terlalu tertarik kalau bicara hukuman mati, denda sekian karena kalau dari sisi pencegahan negara-negara besar mulai mendidik rakyat, yang di atas persepsi korupsi 85 itu mereka mulai bahkan mendidik anaknya kalau ketemu dompet cari alamatnya antar ke rumahnya. sesederhana itu,” kata Saut.
Diketahui sebelumnya, Presiden Jokowi seusai acara Pentas #PrestasiTanpaKorupsi di SMK 57 Jakarta mengatakan bahwa terbuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi korupsi bila masyarakat menghendakinya.