Menurut Surahman, pelaksanaan pilkada yang dilaksanakan berbarengan dengan pileg dan pilpres pada tahun 2024 sebagaimana tercantum dalam UU Pemilu merupakan kesalahan produk legislatif, sehingga perlu direvisi. Tapi yang harus dipahami bahwa keputusan DPR dan pemerintah saat itu, dikarenakan persepsi terkait dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemilu serentak, berbeda dengan saat ini, di mana MK memberikan 6 alternatif pemilu serentak, dimana tidak ada kewajiban pilkada dilakukan bersamaan waktunya.
"Saat ini MK memberikan 6 alternatif pemilu serentak, dimana tidak ada kewajiban pilkada dilakukan bersamaan waktunya. Menurut MK pemilu serentak hanya mengikat untuk pilpres, pemilihan anggota DPR RI, dan pemilihan anggota DPD RI. Jadi sudah selayaknya UU pemilu direvisi sesuai dengan putusan MK dan pengalaman pemilu serentak 2019," ujarnya.
Oleh karena itu, mantan Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini mengaku heran dengan sikap presiden dan partai politik yang menolak revisi UU pemilu dikarenakan UU tersebut belum diterapkan.
"Seharusnya kita belajar dari pengalaman pemilu serentak 2019. Pelaksanaan pemilu serentak 2019, begitu berat bagi penyelenggara pemilu, ratusan petugas meninggal dunia akibat kelelahan, masa iya kita baru merevisi UU pemilu setelah kejadian tersebut terulang kembali. Aneh kalau semua hal yang kita tahu akan berakibat buruk harus kita lakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan pengalaman dan melakukan perbaikan," ujarnya.
"Menambah jumlah petugas agar bisa bekerja bergantian menjadi solusi janggal karena perhitungan dan rekapitulasi harus diikuti, disaksikan, dan disahkan oleh seluruh penyelenggara pemilu," kata Surahman