"Yang dimaksud Hak Siar yakni hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program dan acara tertentu yang diperoleh secara sah yang dimiliki Hak Cipta atau pencipta," katanya.
Andri menuturkan, walaupun Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) menggunakan sistem free to air (FTA) secara gratis, namun jika ada LPB kabel yang hendak menyiarkan harus meminta izin terhadap pemilik Hak Cipta. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 25 ayat 1 dan 2 UU Hak Cipta.
Andri menegaskan, kloning siaran oleh TV kabel tanpa izin tidak saja melanggar UU, namun sangat merugikan pemilik Hak Siar tersebut. Mereka telah bekerja keras menghasilkan program acara, namun diedarkan seenaknya.
"Seperti kita punya pohon pisang di tanah negara. Kita yang kasih pupuk, menyiram dan merawat, ketika pisang itu berbuah, orang lain yang panen. Setelah dipanen, dibuat pisang goreng dan dijual, marah gak pemiliknya?," katanya.
Kasubdit Hak atas Kekayaan Intelektual (Haki) Kementerian Hukum dan HAM Agung menegaskan hal senada. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, lembaga penyiar berhak atas hak ekonominya.
”Sesuai dengan ketentuan UU Hak Cipta bahwa yang dimaksud dalam Pasal 25 itu bahwa lembaga penyiaran memiliki hak ekonomi, jadi mereka bisa melarang pihak lain dalam kaitannya dengan menyiarkan ulang siaran,” ujarnya.
Menurut Agung, hak-hak lembaga penyiaran dijamin undang-undang. Dengan demikian mereka berhak untuk menegakkan hak ekonomi atas karyanya.