Perjanjian MLA terdiri atas 39 pasal, antara lain mengatur bantuan hukum mengenai pelacakan, pembekuan, penyitaan hingga perampasan aset hasil tindak kejahatan. Ruang lingkup bantuan timbal balik pidana yang luas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangka mendukung proses hukum pidana di negara peminta.
Atas usulan Indonesia, perjanjian yang ditandatangani tersebut menganut prinsip retroaktif. Prinsip tersebut memungkinkan untuk menjangkau tindak pidana yang telah dilakukan sebelum berlakunya perjanjian sepanjang putusan pengadilannya belum dilaksanakan. Hal ini sangat penting guna menjangkau kejahatan yang dilakukan sebelum perjanjian ini.
Perjanjian MLA Indonesia-Swiss terwujud melalui dua kali putaran. Pertama, dilakukan di Bali pada 2015. Kedua pada 2017 di Bern untuk menyelesaikan pembahasan pasal-pasal yang belum disepakati di perundingan pertama. Kedua perundingan tersebut dipimpin oleh Direktur Otoritas Pusat dan Hukum Internasional Cahyo Rahadian Muzhar yang kini menjabat sebagai dirjen AHU Kemenkumham.
Seiring ditandatanganinya perjanjian ini Yasonna berharap dukungan penuh dari DPR agar segera meratifikasi perjanjian ini sehingga dapat langsung dimanfaatkan oleh para penegak hukum dan instansi terkait lainnya.
Yasonna menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Pemerintah Swiss yang telah menjadikan Perjanjian MLA terwujud.
Dia juga mengucapkan terima kasih atas dukungan penuh dari Dubes Muliaman Hadad dan Dubes Linggawaty Hakim, terutama kepada para pejabat dari Otoritas Pusat Kemenkumham, Kemenlu, Kemenkeu, Kejagung, Kepolisian, KPK, dan PPATK yang telah bersama-sama mewujudkan dan menyaksikan penanda tanganan Perjanjian MLA Indonesia-Swiss.