Dia menegaskan, uji materi juga bukan berarti ada sikap anti terhadap siaran berbasis internet baik lokal maupun asing. Justru dengan uji materi ini ada kepastian hukum bagi penyelenggara siaran berbasis internet tersebut.
"Jadi egaliter yang sama antara yang konvensional dengan digital. Jadi kedua-duanya bisa berjalan beriringan dan tidak ada disparitas di situ," ucapnya.
Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran ini berbunyi: “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Menurut Nasef, sepanjang tidak dimaknai seluruh siaran berbasis spektrum frekuensi radio, Pasal 1 angka 2 telah menimbulkan multitafsir dengan apa yang disebut penyiaran. Selain itu, juga menimbulkan ketidakpastian hukum.
Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional tersebut, RCTI memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengubah redaksional Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran.
Pemohon ingin Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran menjadi: ”Penyiaran adalah (i) kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran; dan/atau (ii) kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”
Uji materi ini ditujukan kepada semua layanan dan tayangan video yang berbasis spektrum frekuensi radio, tanpa terkecuali. Uji materi dimaksudkan agar semua konten video diatur sesuai aturan yang berlaku sehingga tidak menjadi liar dan berbahaya bagi NKRI.