LPSK mendapatkan referensi bahwa hanya 10 persen dari orang yang menderita penyakit ini yang sembuh, artinya ada 90 persen lainnya yang tidak sembuh atau tidak kembali ke kondisi semula.
"Seberapa pasti LPSK bisa memastikan bahwa David ini tidak termasuk dalam 10 persen yang mungkin sembuh? Bagaimana Anda bisa mengatakan bahwa David ini pasti menderita hingga usia 71 dan perhitungannya harus mencapai usia 71?" tanya pengacara terdakwa lagi.
Jova mengungkapkan bahwa hal tersebut merupakan suatu proyeksi, sedangkan mengenai apakah penganiayaan David sembuh atau tidak, LPSK menilai bahwa korban tidak mungkin menduga bahwa ia akan mengalami sakit dengan kondisi Diffuse Axonal.
Oleh karena itu, untuk mengatasi proyeksi-proyeksi kemungkinan tersebut, LPSK memperhitungkan restitusi setahun dengan memproyeksikan kebutuhan David hingga usia 71 tahun.
Mendengar hal itu, pengacara terdakwa kembali mengajukan pertanyaan kepada saksi dari LPSK mengenai perkembangan pemulihan anak D yang semakin membaik.
"Saya ingin bertanya lagi, jika kita bicara tentang proyeksi, sekarang kita bicara tentang David. Kita sangat simpati dengan David dan mendoakan kesembuhannya. Faktanya, kondisinya semakin membaik. Apakah kondisi ini tidak menjadi pertimbangan bagi LPSK dan LPSK tetap berpegang pada keyakinan bahwa dia tidak akan sembuh?" tanya pengacara terdakwa lagi.
"Saya menolak untuk menjawab mengenai asumsi sembuh atau tidak sembuh, ini bukan kewenangan saya untuk menjawab," kata Jova.
Ketua Majelis Hakim, Alimin Ribut, yang mendengar perdebatan tersebut kemudian memediasi.
Menurutnya, LPSK hanya melakukan penghitungan restitusi berdasarkan metode LPSK, sedangkan tim pengacara terdakwa yang tidak setuju bisa menyampaikan penyangkalan nantinya.
"Inilah yang saksi hitung berdasarkan referensi dari RS Mayapada tadi. Jika penasihat hukum tidak setuju, mereka memiliki hak untuk menyampaikan penyangkalan, bahkan meminta pendapat kedua juga bisa dilakukan," kata hakim.