Seharusnya, kata Basarah, semua pihak turut prihatin jika melihat data per 3 Juni, jumlah korban terinfeksi Covid-19 mencapai 28.233 orang, korban meninggal dunia mencapai1.698 orang, belum lagi harus menerima dampak pandemi yang multidimensi.
"Jadi, dalam kondisi susah seperti ini mestinya semua pihak kompak mencari solusi, bukan mencari nama. Bukankah Pancasila yang menjadi ideologi negara kita mengajarkan 5 falsafah hidup yang sangat berarti buat kita hidup bersama sebagai bangsa, mulai dari falsafah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, sampai keadilan sosial?" tuturnya.
Basarah berharap dalam menghadapi pandemi Covid-19, hendaknya semua komponen bangsa memiliki sense of crisis, tepa salira, dan kepekaan sosial seperti yang terkandung dalam 5 sila Pancasila. Selain itu tidak menjadikan demokasi sekadar tameng kebebasan berpendapat, tetapi senyatanya merupakan ungkapan sakit hati, tidak legawa, dan sejenisnya.
Oleh karena itu, menurut dia, seharusnya seluruh komponen masyarakat bahu-membahu dan gotong royong dalam menghadapi Covid-19 dan mengatasi dampak pandemi yang multidimensi karena dengan gotong royong dan disiplin, anak bangsa ini mampu melewati pandemi.
Dalam sepekan terakhir, ada 2 diskusi yang membahas pemakzulan presiden di tengah pandemi Covid-19.
Diskusi Webinar pertama diselenggarakan Komunitas yang mengatasnamakan diri Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) yang mengangkat tema "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan."
Diskusi Webinar kedua bertajuk "Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Corona" yang digelar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute.