Gambaran kinerja pengumpulan Rp300 juta per tahun di Desa Jatisono tersebut baru dari zakat pertanian saja, belum zakat lain, seperti perniagaan, profesi, zakat fitrah, dan lainnya. Begitu juga dengan UPZ BAZNAS di Desa Maparah Ciamis dengan kinerja pengumpulan dan penyaluran yang begitu baik.
Maka, BAZNAS sebagai amil negara yang berperanan sebagai koordinator memiliki peran penting dalam mentabulasi secara keseluruhan dana ZIS DSKL hingga level desa. Pembagian subjek zakat pada masyarakat perdesaan dikoordinasikan antara UPZ BAZNAS dan LAZ ormas tingkat desa. Dengan koordinasi hingga unit terkecil ini, sekali lagi, bukan mustahil potensi zakat akan tercapai.
Koordinasi selama ini dilakukan pada antara BAZNAS dan LAZ baru sebatas tingkat kabupaten/kota, berdasar pengalaman saya, itupun belum menyentuh berbagai aspek zakat secara mendetail pada masyarakat, baik subjek penghimpunan maupun objek pendistribusian zakat termasuk program-program peningkatan kesejahteraan masyarakat jangka panjang berkelanjutan. Maka, fungsi koordinasi perlu lebih ditingkatkan dan diperluas hingga tataran desa, dan sekali lagi, BAZNAS hadir sebagai koordinator tingkat desa. Maka, ironi jika kemudian terdapat kelompok yang menggugat peran dan fungsi BAZNAS sebagai pengelola zakat di MK.
Kesimpulannya, memandang zakat sebagai sistem ekonomi Islam yang integral meniscayakan adanya pengelolaan yang profesional dan terinstitusionalisasi. Penguatan BAZNAS, khususnya dalam memperluas jangkauan pelayanannya hingga ke desa-desa, adalah sebuah keharusan.
Hanya dengan institusi yang kuat, akuntabel, dan merata kehadirannya, zakat dapat menjalankan fungsinya secara optimal sebagai instrumen keadilan sosial dan pilar kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar bantuan sesaat. Kehadiran BAZNAS di desa adalah kunci untuk mewujudkan potensi penuh sistem ekonomi Islam ini.