“Dari kondektur pelan-pelan, dengan bekerja keras dan doa dari keluarga akhirnya saya menjadi agen bus Timbul Jaya. Saat itu, saya nyari penumpang sendiri, jadi calo sendiri, apa-apa sendiri,” katanya.
Selama 11 tahun mengabdi di Timbul Jaya sebagai seorang agen bus, Pak Roso mendapatkan banyak pelajaran. Bahkan, saat itu, istrinya juga membantu bekerja, sehingga keduanya memiliki pengalaman di dunia transportasi.
“Apa yang saya dapatkan istri saya juga dapatkan, karena saat itu kami mengelola sampai 36 bus Timbul Jaya. Pada saat itu, segala sesuatunya sudah saya yang menentukan, hampir 90 persen apa-apa saya,” kata Pak Roso.
Pada 1983, Pak Roso melihat peluang ketika bus Timbul Jaya hanya mengantar penumpang sampai Solo. Padahal, saat itu banyak penumpang dari Jawa Timur, tepatnya ke Blitar.
Akhirnya, Pak Roso mencari cara untuk membeli satu unit yang digunakannya untuk mengantar penumpang yang turun di Solo menuju Blitar. Bisnis tersebut berjalan baik dan menambah dua unit pada 1984.
Ini menjadi titik awal Pak Roso membangun PO bus. Tapi, itu tak serta-merta mengubahnya menjadi seseorang yang congkak. Dia tetap membumi dengan berpenampilan apa adanya.
“Saya tidak ada tampang pamer, saat jadi kondektur ya seperti ini dan sekarang jadi bos ya seperti ini. Penampilan kondektur saja,” ujarnya.