Sementara itu, Daimler Commercial Vehicle Indonesia (DCVI) sebagai salah satu pemasok sasis bus di Indonesia, tak menyarankan penggunaan klakson telolet. Pasalnya, pemasangan komponen tersebut dipadukan dengan kompresor yang memasok angin ke sistem pengereman.
M Thoyib, Body Builder Advisor DCVI, mengatakan hadirnya klakson telolet sangat positif sebagai hiburan. Tapi, dari sisi teknis hal tersebut berisiko merusak sistem keselamatan yang disematkan pada bus.
"Sebetulnya kami konsen ini terkait dengan elektrik sesuai dengan electrical yang tidak sesuai dengan guidan kami itu berpotensi menghadirkan kegagalan fungsi kendaraan," kata Thoyib di Jakarta beberapa waktu lalu.
Thoyib mengungkapkan, untuk menghasilkan suara yang besar, maka perangkat tersebut membutuhkan dorongan angin. Untuk mendapatkannya, pelaku biasanya mengandalkan kompresor pada kendaraan yang digunakan untuk pengereman.
"Di klakson telolet ada material yang menggunakan tenaga angin kalau instalasinya mengambil tenaga angin yang salah, contohnya di sistem pengereman. Sistem rekam ini mengandalkan sistem angin ya itu remnya bisa tidak berfungsi," ujarnya.
Secara regulasi hukum yang berlaku di Indonesia, suara klakson diatur dalam Undang-Undang Nomor 222 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Bunyi yang dihasilkan tertera dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2012.
Dalam Pasal 69, disebutkan bahwa suara klakson paling rendah 83 desibel dan paling tinggi 118 desibel atau dB (A) dengan pengukuran serendah-rendahnya pada jarak dua meter di depan kendaraan.
Apabila pengguna kendaraan bermotor tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan, termasuk menggunakan suara klakson yang tidak sesuai dengan ketentuan, maka akan mendapat sanksi berupa hukuman pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda Rp250.000 bagi kendaraan roda dua.
Sementara bagi kendaraan bermotor beroda empat, mendapatkan sanksi pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp500.000.