Judy Murray, ibu petenis Andy Murray bercerita bagaimana kepahitan yang dia dan anaknya alami. Pada 2005 petenis Britania Raya itu bermain di arena bergengsi Wimbledon.
Judy menjawab kekaguman terhadap anaknya dengan menceritakan keringat dan airmata yang mereka teteskan. Andy berlatih seperti serdadu, kata Judy. Remaja berusia 14 tahun harus pindah ke Barcelona lalu ke Amerika untuk mendapatkan pelatih yang tepat.
Tak ada yang instan dalam sukses yang sejati. Sukses sejati memerlukan pengorbanan besar, kekuatan fisik, serta kesabaran panjang.
Bukan sukses semu yang diraih dalam waktu singkat dengan balutan pencitraan hasil besutan konsultan. Bukan pula sukses yang direngkuh di media sosial, di mana setiap orang bisa mendadak menjadi ahli apa saja.
Tentu saja banyak yang berkiprah di dunia politik dengan jalan berkeringat dan berdarah. Membangun basis-basis massa, menggerakkan modal sosial, serta memberi pendidikan politik.
Perhelatan Asian Games yang bersamaan dengan persiapan pemilu serentak, semoga bukan kebetulan semata. Politik dan olahraga sama-sama memiliki semangat membangun kemanusiaan. Jangan semua hal dipolitisir, termasuk kegiatan dan keberhasilan di arena olahraga.
Politik juga perlu mengedepankan sportivitas dan solidaritas yang kita pelajari dari Ginting, Defia, Khoiful Mukhib, Tiara Andini Prastika, Eko Yuli Irawan, Lindswell Kwok, Japro Megaranto, dan 930 atlet Indonesia lainnya.
Seperti kata Via Valen:
Kalau menang berprestasi,
Kalau kalah jangan frustrasi,
Kalah menang solidaritas,
Kita galang sportivitas.*