Langkah ini dilakukan dengan mengadakan kelas-kelas untuk melatih kecakapan SDM sehingga dapat memenuhi target. Sedangkan Inggris memiliki program serupa dengan menumbuhkan minat anak sekolah terhadap teknologi, pendanaan program magister dan PhD, hingga pelatihan bagi pekerja yang sudah ada untuk beradaptasi dengan perubahan pekerjaan akibat AI.
Etika AI juga menjadi fokus keduanya untuk memastikan keamanan dan pelaksanaan yang tepat. Indonesia juga sudah menerbitkan Surat Edaran Menteri tentang Etika AI dan sedang menyusun regulasi AI yang lebih komprehensif.
Delegasi Inggris, melalui Institut Keamanan AI (AI Security Institute), mencoba menggali pemahaman ilmiah tentang risiko AI yang canggih dan berbagi temuan ini secara internasional, termasuk melalui Laporan Keamanan AI Internasional yang melibatkan panelis dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Diskusi juga menyoroti kecepatan adopsi AI di Indonesia yang sangat agresif, di mana 80 persen masyarakat memandang AI membawa manfaat. Namun, kecepatan ini juga membawa risiko disrupsi tenaga kerja, terutama di sektor media dan penyiaran.
"Kami menyadari pesatnya adopsi AI di Indonesia. Oleh karena itu, kolaborasi dengan Inggris menjadi sangat penting untuk belajar bagaimana menyeimbangkan inovasi dengan mitigasi risiko, terutama terkait disrupsi sosial dan penyebaran konten negatif," ujar Wamen Nezar.