Jika media mainstream diikat oleh Undang-Undang Pers, sehingga dapat diadukan kepada Dewan Pers, lain halnya dengan konten kreator di media sosial. Saat ada yang tak terima atas informasi yang disebarlan, kreator konten langsung berhadapan dengan pihak kepolisian.
"Kalau sendainya aja bukan karya jurnaklistik, instrumen hukumnya itu pidana, ITE, non etik regulasi. Kalau bermain di sosial media, pasti kalau ada yang melapotkan bahwa itu hate speech, fitnah, hoax dan lain lain itu tidak ke dewan pers mainkan ke kepolisian, masuknya ke KUHP atau ITE," ujar Yadi.
Menghindari adanya pengaduan tak mengenakan, Yadi kembali menegaskan pentingnya memikirkan dampak sembuat membuat hingga menyebarkan konten maupun berita.