JAKARTA, iNews.id - Wilayah Pasifik bagian barat adalah Kepulauan Indonesia. Kepulauan Indonesia adalah pusat pergerakan atmosfer yang intens dan perubahan atmosfer global.
Kendati demikian, mekanisme perubahan dan fluktuasi atmosfer masih belum jelas dipahami dengan baik karena jarangnya data pengamatan di wilayah tersebut. Kolaborasi ilmiah antara Jepang dan Indonesia dalam studi atmosfer khatulistiwa dimulai pada pertengahan 1980-an.
Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH), dari Kyoto University, Jepang, dan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa BRIN (sebelumnya bernama LAPAN), memulai kerja sama ilmiah pada pertengahan 1980 dengan merencanakan Equatorial Radar atau Radar Khatulistiwa, yang merupakan radar raksasa yang ditempatkan tepat di atas khatulistiwa.
Pada tahun 1990, RISH melakukan kampanye pengamatan pertama atmosfer khatulistiwa dengan menggunakan radiosonde. Kemudian memulai pemasangan dua radar terpadu pada tahun 1992 di PUSPIPTEK, dan radar Middle-Frequency (MF) pada tahun 1995 di Pontianak. Di Indonesia, lembaga lain seperti BMKG, dan ITB juga ikut serta dalam penelitian ini.
Selama kurun waktu 2001-2007, RISH yang dipimpin oleh Prof. S. Fukao, telah menyelesaikan pembangunan Equatorial Atmosphere Radar (EAR) dan meningkatkan kerja sama dengan OR PA-BRIN dalam penelitian Proses Penggabungan di Atmosfer Khatulistiwa.
Mekanisme yang menyebabkan variabilitas atmosfer di wilayah Pasifik barat dianggap memiliki struktur hierarkis dan kompleks, sehingga diperlukan pengamatan atmosfer dalam berbagai skala.
Sebagai fasilitas utama untuk penelitian ini, RISH membangun EAR di Equatorial Atmosphere Observatory, Kototabang, Agam, Sumatera Barat, Indonesia (0.20°LS, 100.32°BT) pada tahun 2001. Pengoperasian EAR didasarkan pada nota kesepahaman (MOU) antara RISH dan BRIN.
Dalam keterangan resminya, OR PA-BRIN, menjelaskan EAR adalah radar atmosfer yang dioperasikan pada frekuensi tengah sebesar 47-MHz. EAR dirancang untuk mengukur kecepatan angin dan turbulensi vertikal dan horizontal di troposfer dan stratosfer bawah (hingga ketinggian 20 km), dengan resolusi waktu dan ketinggian tinggi (masing-masing kurang dari 1 menit dan 150 m).
EAR dapat mengamati perilaku gelombang gravitasi, generasi turbulensi, dan gerakan angin di troposfer dan stratosfer bawah. EAR juga mampu mengamati ketidakteraturan ionosfer seperti gelembung plasma di atas ketinggian sekitar 90 km. EAR memulai pengamatan atmosfer khatulistiwa secara terus-menerus sejak Juni 2001.
Salah satu pencapaian utama dari EAR adalah penemuan modulasi gelombang Kelvin di wilayah tropopause oleh Fujiwara dan timnya pada tahun 2003, yang memberikan bukti langsung bahwa percampuran udara stratosfer dan udara troposfer terjadi oleh pemecahan gelombang Kelvin.
Selain itu, pengukuran resolusi tinggi angin dan turbulensi oleh EAR sangat berkontribusi untuk memperjelas mekanisme generasi konveksi deep cumulus yang selanjutnya membangkitkan gelombang gravitasi atmosfer.