Kampung Miduana berasal dari kata ‘Midua’ yang Berarti terbelah, atau terbagi dua. Di mana hal ini merujuk pada lokasi desa yang terbelah di antara dua sungai, Cipandak Hilir dan Cipandak Girang. Para orang tua di zaman dahulu memutuskan untuk menamakan kampung ini sebagai Kampung Midua.
Pada mulanya, masyarakat di Desa Miduana cukup tertutup dari kemajuan dan teknologi, selama bertahun-tahun. Bahkan, hampir tak ada pemberitaan yang masuk tentang desa adat ini. Namun kini, secara perlahan warga Desa Miduana mulai terbuka dan kerap didengar namanya pada media sosial.
Desa Miduana memang dikenal unik karena warga yang tinggal di sini memiliki umur panjang. Namun, di balik keunikannya, ternyata Desa Miduana merupakan keturunan kerajaan Pajajaran.
Desa adat Miduana tidak bisa dilepaskan dari dua tokoh kembar bernama Eyang Jagat Nata dan Eyang Jagat Niti. Keduanya merupakan keturunan dari Kerajaan Pajajaran yang mencari tempat pemukiman untuk menghindari Kerajaan Sunda.
Mereka juga pendiri Desa Balegede atau yang disebut Desa Miduana. Jagat Nata dan Jagat Niti berhasil mendirikan perkampungan baru dan mendirikan tempat perjumpaan atau pasamoan besar dengan koleganya dari berbagai wilayah, ini yang kemudian menjadi dasar penamaan Balegede yang artinya tempat perjumpaan besar.
Eyang Jagat Niti kemudian memiliki keturunan bernama Eyang Jagat Sadana yang berhasil membuka kampung atau dusun Miduana dan tidak jauh dari Balegede. Seketika, Jagat Sadana mendapat tempat spesial dari warganya, karena berhasil pembuka hutan belantara atau leuweung peteng menjadi tempat tinggal secara matuh atau menetap.
Seluruh warga di desa adat ini menggantungkan hidup dari hasil pertanian. Mereka menjalankan Te’tekon atau aturan tradisi tata kelola pertanian, yang dilakukan secara turun-temurun. Seluruh kegiatan pertanian di kampung ini masih dilakukan secara tradisional. Sebagian warganya juga sudah mulai menjajaki sektor lain, seperti berdagang.