Lokasi jembatan di pegunungan dengan sungai-sungai di bawahnya menjadi tantangan tersendiri. Apalagi saat itu belum ada teknologi canggih konstruksi layaknya pembangunan jembatan atau konstruksi infrastruktur seperti saat ini.
"Pakai katrol sederhana yang ada kuncinya itu. Teknologi tuas dan katrol sudah dipakai sejak Mesir saat membangun Piramida. Dari katrol sederhana dengan beda putaran diaplikasikan jadi lift," ucapnya.
"Jadi relnya dipasang dulu, mendekati jembatan, untuk mengangkut material yang masih terburai potongan-potongan yang nantinya disambung dengan baut dan paku keling di lokasi," tambahnya.
Pembangunan jembatan itu tidak melibatkan arsitek bangunan secara khusus. Sebab secara spesifikasi dan peruntukkan disebut Indra, cukup oleh arsitektur sipil, serta yang penting teknik dan hitungan bebannya tepat sehingga jembatan bisa terbangun.
"Kalau struktur baja tidak butuh arsitek, tapi hitungan dimensi atau bentuk baja minimal yang perlu untuk menahan beban rencana di masing-masing elemen rangkanya. Jadi, cukup insinyur sipil, tidak butuh keindahan, tapi hitungannya kuat dan aman saat dibebani," ujarnya.
Meski demikian, proses pembangunan jembatan itu kata Indra melibatkan beberapa pekerja dari kaum pribumi atau penduduk lokal. Tapi tidak ada jumlah data berapa pekerja yang dikerahkan. Namun yang jelas proses pembangunan jembatan berlangsung selama kurang lebih dua tahun.
"Jalur Blitar-Malang terhubung setelah segmen Kepanjen-Wlingi tuntas selesai, dan dibuka resmi pada 30 Januari 1897," katanya.