Sistem keberlanjutan operasional menjadi poin menarik dari berdirinya resort ini. Jadi, menurut I Wayan Lanus, Sanggraloka Ubud menjalankan pengolahan limbah yang dipilah dan dikelola.
Dengan begitu sebagian besar limbahnya dapat dikomposkan dan didaur ulang. Bahkan, penggunaan air dan energi dioptimalkan melalui pengelolaan greywater, pemanenan air hujan, dan efisien peralatan.
Upaya tersebut selaras dengan kerangka GSTC dan prinsip ESG yang diterapkan melalui komite internal dan indikator terukur seperti pengurangan pemakaian air per guest-night, pengalihan sampah dari TPA minimal 70 persen, penurunan intensitas energi hingga 10 persen per tahun, serta pemantauan biodiversitas melalui indeks burung dan kupu-kupu di jalur Forest Path.
Lebih dari 70 persen tenaga kerja berasal dari Bresela dan Payangan, mendapatkan pelatihan hospitality berbasis budaya dan praktik ramah lingkungan. Rantai pasok juga diprioritaskan dari komunitas sekitar meliputi petani, perajin, dan pemandu budaya dengan perputaran ekonomi lokal yang diproyeksikan mencapai Rp1,2 miliar hingga Rp1,6 miliar per tahun saat resort mencapai kapasitas penuh.
Dengan operasional yang efisien, diversifikasi pendapatan, dan keterlibatan ekonomi lokal yang terukur, Sanggraloka menjadi contoh bagaimana model hospitality dapat menciptakan nilai komersial sekaligus sosial. Pendekatan ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan hanya memenuhi ekspektasi pasar modern, tetapi juga memperkuat daya saing, loyalitas tamu, dan stabilitas bisnis jangka panjang.
"Di tengah transformasi industri pariwisata yang menuntut diferensiasi dan tanggung jawab, Sanggraloka Ubud hadir sebagai luxury resort pilihan terbaik di Bali yang berkembang tanpa melepaskan akarnya pada komunitas dan lingkungan yang mendukungnya," kata I Wayan Lanus.