7. Bebas gluten, rendah gula
Saat ini banyak anak yang alergi terhadap gluten. Tanpa perlu repot-repot mencari produk gluten free impor, papeda bisa menjadi solusi. Selain itu, papeda juga rendah gula, sehingga tepat dikonsumsi oleh penderita diabetes atau oleh orang yang sedang ingin menurunkan berat badan.
8. Makin tergeser oleh nasi
Chef Chato mengamati, makin lama papeda makin tergeser oleh nasi. Perubahan ini sebenarnya sudah lama terjadi. Ketika berusia sekitar 7 tahun, ia sudah mengenal beras. Ketika itu ada kebijakan pemerintah membuka lahan persawahan di Papua.
"Dulu ada stigma makan nasi itu modern, nasi itu untuk masyarakat yang mampu, kelas nasi lebih tinggi daripada papeda. Informasi semacam ini membuat orang dari kampung merasa makan papeda dan ikan itu kualitasnya lebih rendah, sehingga kemudian mereka berbondong-bondong mencari nasi,” kata Chef Chato.
Melihat fakta ini, dia selalu gencar menyampaikan pesan apa yang mereka miliki di kampung sebetulnya lebih baik, dan itulah yang dibutuhkan masyarakat kota sekarang. Dia berharap, masyarakat Papua paham menjaga pangan lokal merupakan hal penting, juga menjaga sagu yang manfaatnya lebih baik daripada beras yang kadar gulanya tinggi.
“Lahan sagu di Papua tidak perlu diganti jadi lahan sawah padi. Sebab, orang Papua tidak terbiasa mengolah padi dan makan nasi bukan budaya asli Papua," kata Bustar.
9. Bisa dikonsumsi bayi usia 6 bulan
Papeda bisa dikounsumsi bayi usia 6 bulan. Setelah matang, papeda dimasukkan ke dalam air dingin yang bersih hingga teksturnya jadi lebih kental dan bisa dipotong-potong. Potongan kecil inilah yang disuapkan pada bayi. Untuk melengkapi kebutuhan gizinya, papeda dikonsumsi dengan ikan kecil sehingga tulangnya juga bisa dimakan, misalnya ikan teri. “Papeda lembut untuk bayi, karena 60% adalah air, sehingga baik untuk pencernaannya,” tutur Chef Chato.