4. Papeda versi lontong
Papeda yang kerap dilihat umumnya berupa bubur. Namun ada papeda yang bentuknya seperti lontong. Namanya papeda bungkus. Proses pembuatannya seperti papeda biasa. Setelah matang, papeda dibungkus daun pisang atau daun fotovea (dalam bahasa Sentani disebut waibu). Uniknya, daun waibu tersedia di alam dalam dua varian warna, yaitu merah hati dan hijau. Daun pisang dan fotovea berperan sebagai penambah aroma, sehingga papeda bungkus memiliki aroma yang khas.
Daya simpan papeda bungkus ini bisa sampai satu bulan. “Tak perlu disimpan di kulkas, tak perlu dihangatkan berulang-ulang. Simpan saja di meja,” ujar Chef Chato.
5. Sinole, papeda berbumbu kaldu
Papeda tradisional rasanya hambar, karena campurannya hanya sagu, air jeruk sebagai pengental dan air. Adapun yang menambah rasa adalah lauk dan sayur yang mendampinginya. Tapi, seperti nasi uduk yang berbumbu, ada juga papeda yang diberi bumbu. Hanya saja, kalau sudah dibumbui namanya bukan lagi papeda, melainkan sinole.
Sebelum dimasak, sagu dikeringkan dahulu dengan cara disangrai hingga mengeluarkan aroma asap yang sedap. Kemudian, sagu dimasak dalam kaldu ikan atau kaldu daging yang sudah dimasak selama 2-3 hari agar rasanya intens, sambil terus diaduk hingga mengental. Ketika sinole matang tinggal disantap saja, tak perlu ditemani lauk, karena di dalamnya sudah ada potongan ikan.
6. Mampu lenyapkan flek di paru-paru
Papeda bungkus memiliki khasiat yang unik, yaitu bisa membersihkan paru-paru dari flek. Karena itu, papeda bungkus yang sudah menginap beberapa hari sering dikonsumsi oleh mereka yang akan menjalani tes untuk masuk kepolisian atau militer.
"Paling bagus jika papeda bungkus diembunkan. Secara umum sudah banyak yang membuktikan, tapi secara ilmiah masih perlu diteliti zat apa yang terkandung pada sagu sehingga bisa membersihkan paru-paru,” ungkap Chef Chato.