Harga Bawang Putih Makin Mahal, Pemerintah Dinilai Perlu Evaluasi Regulasi Impor
 
                 
                JAKARTA, iNews.id - Pemerintah dinilai perlu mengevaluasi regulasi impor bawang putih untuk memastikan efektivitas dan dampaknya terhadap kebutuhan komoditas tersebut di Tanah Air. Pasalnya, saat ini harga bawang putih sedang melambung imbas minimnya stok.
Menurut data Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), harga bawang putih pada April 2022 berada di angka Rp30.670 per kg. Harga ini kemudian melambung menjadi Rp36.170 per kg pada Mei 2023. Peneliti CIPS, Hasran menyebut, kenaikan harga perlu disikapi segera untuk menjaga keterjangkauan industri dan konsumen rumah tangga terhadap komoditas yang satu ini.
 
                                Dia menambahkan, karena kondisi cuaca yang tidak begitu cocok, sekitar 90-95 persen kebutuhan bawang putih di Indonesia diperoleh melalui impor dari China, India dan juga Amerika Serikat (AS).
"Sayangnya, walaupun sudah menempuh jalur impor harganya di pasaran tetap tinggi. Dapat dipastikan, fenomena naiknya harga ini disebabkan oleh prosedur impor yang tidak efisien, dan biaya logistik di dalam negeri yang masih tinggi," ujar Hasran dalam keterangannya, Rabu (31/5/2023).
 
                                        Hasran menuturkan, proses importasi bawang putih dimulai dari pengurusan dokumen Rencana Impor Produk Hortikultura (RIPH). Untuk mendapatkan RIPH, pelaku usaha pemegang Angka Pengenal Impor Umum (API-U) dan Angka Pengenal Impor Produsen (API-P) perlu menyiapkan persyaratan teknis dan administrasi termasuk memenuhi kewajiban tanam.
RIPH ini kemudian akan dilampirkan dalam pengurusan persetujuan impor (PI) yang prosesnya juga sangat panjang karena masih manual.
 
                                        Dia menilai, dalam situasi terjadi lonjakan harga dan jumlah pasokan menipis, impor dapat dilakukan oleh BUMN. Sayangnya, prosesnya juga cukup panjang karena BUMN tersebut membutuhkan mandat dari Menteri BUMN. Ditambah lagi Menteri BUMN tersebut harus menunggu hasil rapat terbatas (Rakortas).
"Sangat mungkin proses yang panjang tersebut juga berkontribusi pada terlambat masuknya bawang putih ke pasar," katanya.
Oleh karena itu, Hasran merekomendasikan beberapa hal, seperti perlunya evaluasi terhadap beberapa kebijakan impor. Salah satunya adalah kebijakan wajib tanam sebagai persyaratan mendapatkan persetujuan impor.
"Kebijakan ini membebani pelaku usaha karena harus mengalokasikan energi dan sumberdaya untuk melakukan penanaman yang bukan keahliannya. Lima tahun sejak kebijakan ini diperkenalkan, jumlah produksi bawang putih tetap tidak meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan ini memang kurang efektif," tuturnya.
Selanjutnya, Kementerian Perdagangan disebut perlu meninjau kembali kebijakan hambatan non-tariff atau non-tariff measures (NTM), terutama pada importasi bawang putih. Kebijakan NTM yang tidak perlu akan membuat importasi menjadi terlambat dan berdampak pada harga jual yang lebih mahal.
Adapun, biaya logistik merupakan salah satu penyumbang tingginya harga bahan pokok di dalam negeri. Pemerintah perlu memprioritaskan penurunan biaya logistik pada sektor pangan.
“Kemendag, Kementan, dan Kemenperin perlu melonggarkan restriksi kuantitatif pada produk-produk pangan dan pertanian yang digunakan untuk produksi manufaktur makanan dan minuman,” ucapnya.
Hasran juga menyampaikan, bawang putih belum masuk dalam komoditas yang diatur dalam neraca komoditas. Sistem Neraca komoditas perlu terus dikembangkan oleh Kemenko Perekonomian agar dapat mencakup seluruh komoditas bahan pokok termasuk bawang putih.
Dengan masuknya bawang putih ke dalam neraca Komoditas, persyaratan teknis dan administrasi dapat dipangkas, sehingga penerbitan persetujuan impor dapat dipercepat.
Editor: Aditya Pratama