Kekayaan Taipan Properti China Anjlok, Terbesar Bos Evergrande Kehilangan Rp659 Triliun
BEIJING, iNews.id - Para taipan properti China mengalami tahun terburuk sejak 2012. Salah satunya pendiri Evergrande Group Hui Ka Yan yang kehilangan kekayaannya mencapai 46 miliar dolar AS atau setara Rp659,35 triliun.
Sektor properti mengalami tekanan berat di tahun ini lantaran kebijakan pemerintah China yang ketat terhadap perusahaan pengembang properti. Pemerintah China juga mendorong perusahaan mengendalikan utang yang terlalu besar dan mengurangi spekulasi, pada akhirnya membuat perusahaan mengalami gagal bayar utang. Selain itu, Presiden Xi Jinping juga berjanji ingin mendistribusikan kekayaan di negara itu untuk kemakmuran bersama.
Profesor ekonomi di Chinese University of Hong Kong Terence Chong mengatakan, sektor properti di China telah tumbuh sangat cepat selama dua dekade terakhir karena ekspansi yang agresif melalui utang yang tinggi.
"Perkembangan sudah pasti akan melambat dengan utang yang lebih rendah dari bank. China sedang mengubah dan meningkatkan ekonominya, dan properti akan menjadi kurang populer di masa depan," kata dia, dikutip dari Bloomberg, Jumat (17/12/2021).
China telah berusaha menstabilkan ekonominya, di mana sektor properti menyumbang sekitar 25 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Namun kebijakan baru tahun lalu untuk mencegah gelembung perumahan menyebabkan masalah bagi para pengembang setelah bertahun-tahun mengandalkan utang untuk tumbuh.
Sejak itu, harga rumah turun, bank menjadi lebih berhati-hati meminjamkan uang dan investor semakin skeptis terhadap perusahaan. Hasilnya, sekitar 15 perusahaan properti di China mengalami gagal bayar obligasi korporasi pada tahun ini dan pemilik perusahaan telah menggunakan setidaknya 3,8 miliar dolar AS aset pribadi mereka untuk membantu membayar utang.
Krisis telah menggerus kekayaan para taipan properti yang menjadi kaya selama tahun-tahun karena booming-nya sektor tersebut. Dan Hui Ka Yan menjadi contoh bagi para taipan properti yang jatuh di negara itu.
Pernah menjadi orang terkaya kedua di Asia dengan kekayaan 42 miliar dolar AS, kekayaan Hui saat ini sekitar 6,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp874,35 triliun. Dia kehilangan kekayaannya sebesar 46 miliar dolar AS sepanjang 2021, yang merupakan penurunan kekayaan terbesar tahun ini.
Itu karena saham perusahaannya telah jatuh dan pemerintah mendesak Hui menggunakan kekayaan pribadinya untuk membantu membayar utang kepada investor.
Awal bulan ini, gubernur Bank Rakyat China mengatakan, gejolak Evergrande harus ditangani oleh pasar. Ini menandakan pemerintah tidak akan menyelamatkan Evergrande, pengembang dengan utang terbesar di dunia yang tengah berjuang membayar utang lebih dari 300 miliar dolar AS.
Gejolak juga melanda salah satu perusahaan yang dianggap sebagai salah satu pemain kuat di industri, Shimao Group Holdings Ltd. Obligasi dan sahamnya telah jatuh di tengah kekhawatiran menghadapi krisis uang tunai, sementara kesepakatan antara dua unit usahanya menimbulkan kekhawatiran terhadap tata kelola perusahaan.
Bagi pendiri perusahaan Hui Wing Mau, yang memulai investasi propertinya pada akhir 1980-an, itu menyebabkan kekayaannya berkurang lebih dari setengahnya tahun ini, turun 5,2 miliar dolar AS menjadi 4,4 miliar dolar AS.
Beberapa taipan bahkan telah kehilangan status miliarder mereka. Kekayaan Kwok Ying Shing, pemilik Kaisa Group Holdings Ltd. telah merosot hampir 90 persen tahun ini menjadi sekitar 160 juta dolar AS. Ketua Zhang Yuanlin dari Sinic Holdings Group Co juga berkurang kekayaannya setelah saham perusahaanya anjlok 75 persen dalam satu hari.
Sekarang pemerintah menggandakan upayanya untuk mendukung ekonomi dan melawan kemerosotan di sektor properti. Bank Rakyat China memangkas persyaratan cadangan bank awal bulan ini, dan para ekonom memperkirakan negara itu akan menambah stimulus fiskal pada tahun depan.
Namun menurut profesor di Fakultas Hukum Universitas Hong Kong Angela Zhang, krisis di sektor properti kemungkinan akan mengarah pada restrukturisasi yang akan lebih menantang daripada perusahaan seperti HNA Group Co.
“Sulit memperkirakan kapan krisis akan mereda,” ujarnya.
Editor: Jujuk Ernawati