Perajin Mukena Sulam Kebanjiran Pesanan Jelang Lebaran, Melonjak 100 Persen
"Jadi sampai close order sudah di bulan Ramadan jadi tidak menerima pesanan tinggal ngambil-ngambil seperti itu saja. (Yang ditolak) Banyak puluhan, bukan ditolak, sudah kita pending, kita kerjakan setelah Lebaran. Sudah banyak puluhan yang mengantri, beberapa sudah dikerjakan tinggal nyulam," ujarnya.
Apalagi dari sekitar 100 ibu-ibu yang diberdayakan menyulam di rumah, sebagian besar ada yang berkuranh meninggal dunia akibat Covid-19 varian Delta pada pertengahan tahun lalu. Nurul hanya dibantu tiga pekerja tetap di rumah produksinya, yang menjahit dan membentuk pola-pola sulaman pada mukena dan kerudungnya.
Sedangkan beberapa ibu-ibu yang tersisa kini harus bekerja ekstra mengerjakan sulaman mukena tangan, dari rumah masing-masing di tengah banyaknya pesanan yang datang. Dia beralasan belum menambah pekerja lagi karena membuat produk fashion sulam bukanlah perkara mudah, memerlukan pelatihan, ketelitian, dan ketekunan, yang tidak sembarangan orang bisa melakukannya.
"(Penambahan pekerja) Enggak ada, kalau pengurangan iya karena banyak meninggal kena Covid. Penambahan pekerja masih belum, karena untuk menambah pekerja di tempat kami perlu latihan, perlu harus dilatih dulu dengan jam terbang yang agak lama," ujarnya.
Kendala lain yang dihadapi Nurul yakni tingginya biaya produksi. Kenaikan harga kain per meternya mencapai 10 persen menjadikan beban produksi bertambah, beruntung beberapa jenis kain masih mempunyai stok dari produksi lama saat Covid-19 sedang tinggi-tingginya.