Perkuat Infrastruktur TIK, Tower Bersama Bangun Banyak BTS di Daerah 3T
TIK Di Kawasan Perbatasan dan Upaya Perbaikan Pemerintah
Dari tahun ke tahun, penguatan fundamental digital melalui pembangunan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) perlahan direalisasikan pemerintah. Meski begitu belum semua wilayah terjamah TIK.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pengerapan mencatat, pada kuartal III-2019 layanan 4G telah hadir di 70.670 desa atau kelurahan di Indonesia.
Namun, ada 12.548 desa lainnya masih belum terlayani secara 100 persen. Dari 12.548, terdapat 3.435 desa yang termasuk dalam wilayah non 3T dan 9.113 desa termasuk wilayah 3T.
Akses broadband juga masih belum merata. Persoalan ini dinilai menjadi penghambat penetrasi digital di daerah perbatasan dan 3T. Tercatat, dari total 83.218 desa, terdapat 12.548 yang belum terjangkau internet 4G. Dimana, 9.113 desa diantaranya adalah wilayah 3T dan 3.435 desa lainnya merupakan wilayah non 3T.
Kemenkominfo mengakui, coverage seluler 4G masih terkonsentrasi di wilayah komersial seperti di Pulau Jawa, Sumatera, dan sebagian Kalimantan dan menyisakan wilayah yang belum terlayani akses telekomunikasi di wilayah non komersial.
Karenanya, upaya menyediakan infrastruktur broadband baik fixed dan mobile untuk menjangkau wilayah non komersial, Kemenkominfo ditugaskan mengelola dana Universal Service Obligation (USO).
Untuk memenuhi target itu, Kemenkominfo membangun dan menyediakan BTS seluler 4G. Pada tahun 2020, pembangunan BTS telah dilakukan pada sebanyak 1.679 lokasi.
"Selanjutnya Kemenkominfo akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan tahapan pendaftaran filing satelit ke ITU sehingga slot orbit 146 BT dapat digunakan oleh Indonesia," kata Semuel.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B Hirawan menilai, infrastruktur TIK menjadi katalisator bagi pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan NKRI. Keberadaan TIK mendorong percepatan penetrasi internet atau penggunaan teknologi digital bagi masyarakat setempat.
Pertumbuhan ekonomi, kata dia, tidak melulu dipahami hanya dengan satu pendekatan atau berfokus pada satu sektor secara individual. Namun, bisa dianalisa di sisi ekonomi jaringan (network economics). Dalam kajiannya, fenomena network economics menunjukkan adanya eksternalitas jaringan (network effect) di beberapa industri yang terhubung secara vertikal.
Artinya, pengembangan infrastruktur jaringan internet di kawasan perbatasan dan 3T berpotensi menciptakan aktivitas ekonomi digital bagi masyarakat setempat. Jokowi sendiri pun mengakui, ekonomi digital di Indonesia sangat potensial, namun masih terkendala dengan penetrasi internet.
"Konsep ini sangat relevan, sebagai bukti, bahwa kondisi ekonomi tidak dapat dianalisis dan berfokus pada salah satu sektor saja. Tapi, harus kita pelajari dari berbagai aspek dalam konteks network economics," ujar Fajar saat dihubungi.
Dalam lima tahun terakhir, digitalisasi dalam negeri mengalami pertumbuhan cukup signifikan. Pesatnya teknologi itu diikuti oleh pertumbuhan ekonomi digital. Sejak 2019 nilai ekonomi digital di Indonesia mencapai 40 miliar dolar AS, bahkan naik menjadi 44 miliar dolar AS pada 2020. Data itu menunjukkan jika sektor ekonomi digital di Indonesia sangat potensial.
Fajar menilai, digitalisasi juga mampu mendorong kreativitas dan inovasi masyarakat di daerah perbatasan dan 3T. Kegiatan ini diyakini menjadi alternatif lain bagi penciptaan lapangan kerja baru. Karenanya, infrastruktur digital sebagai pondasi mampu mendukung sistem komputasi yang meliputi jaringan, data, protokol, perangkat, layanan, dan penyimpanan.
Pemerintah juga mencatat, digitalisasi ekonomi mampu membawa perubahan signifikan bagi aktivitas ekonomi masyarakat daerah perbatasan dan 3T. Dalam penerapannya, konsep ini memberikan manfaat (benefit) seperti efisiensi, efektivitas, penurunan cost production, kolaborasi, hingga terkoneksinya satu pihak dengan pihak lain.
Editor: Rahmat Fiansyah