Perusahaan Bimbel PHK 60.000 Karyawan Gara-gara Tindakan Keras China
BEIJING, iNews.id - Penyedia pendidikan swasta terbesar di China melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 60.000 karyawan pada tahun lalu. Itu akibat perombakan besar-besaran di industri yang dilakukan pemerintah China.
Miliarder pendiri New Oriental Education Yu Minhong mengatakan, perusahaan mengalami terlalu banyak perubahan pada tahun lalu dan menyalahkan PHK terjadi karena kebijakan, pandemi, dan hubungan internasional. Dia menjelaskan, konsekuensi bagi perusahaan swasta di China ketika pemerintah mengambil langkah besar untuk membatasi apa yang dilihatnya sebagai praktik bisnis yang sulit diatur.
Mengutip CNN Business, Oriental merupakan perusahaan bimbingan belajar (bimbel) swasta terbesar di China berdasarkan kapitalisasi pasarnya dan terdaftar di Bursa New York ini adalah salah satu korban dari pembatasan yang diberlakukan pada sektor bimbel dengan nilai pasar 120 miliar dolar AS di negara itu. Pemerintah melarang bagi keuntungan, layanan bimbel sepulang sekolah, dan membatasi perusahaan-perusahaan tersebut untuk menghasilkan keuntungan atau meningkatkan modal.
Regulator menyatakan bimbel yang berlebihan membuat anak-anak kewalahan dan membebani keuangan orang tua, sekaligus memperburuk ketidaksetaraan sosial. Sejak pembatasan itu diumumkan, pihak berwenang telah memerintahkan bisnis bimbel tersebut untuk menangguhkan kelas bimbel online maupun offline.
New Oriental, yang terkenal dengan layanan bimbel setelah jam sekolah, memiliki lebih dari 88.000 karyawan tetap dan sekitar 17.000 guru kontrak dan karyawan pada Mei 2021, menurut laporan tahunan terbarunya. Tidak jelas apakah pekerja kontrak termasuk di antara 60.000 karyawan yang dipecat, tetapi angka tersebut menyumbang sekitar dua pertiga dari karyawan penuh waktu New Oriental tahun lalu.
Dalam postingan-nya pada Senin (10/1/2022) malam, Yu mengklarifikasi perusahaan masih memiliki sekitar 50.000 guru dan karyawan setelah PHK. Setelah postingan Yu menarik perhatian luas, New Oriental mengatakan, postingan tersebut tidak mewakili pandangan perusahaan. Dalam pengajuan ke bursa saham Hong Kong pada Senin malam, perusahaan menyatakan sedang meninjau hasil keuangan terbaru.
Perusahaan menyatakan telah menghabiskan hampir 3,1 miliar dolar AS tahun lalu untuk mengembalikan uang sekolah prabayar kepada pelanggan, memberi kompensasi kepada karyawan yang di-PHK, dan menyerahkan sewa untuk situs pembelajaran di seluruh negeri.
Dia menambahkan, pendapatan perusahaan anjlok 80 persen, sementara kapitalisasi pasar menyusut 90 persen. New Oriental kehilangan sekitar 28 miliar dolar AS nilai pasar pada tahun lalu.
Larangan les privat mengejutkan orang tua dan membuat banyak bisnis kesulitan. Hal ini juga memicu aksi jual tajam perusahaan pendidikan China di New York dan Hong Kong. Pada akhir Juli, Goldman Sachs memperkirakan peraturan tersebut menghapus 77 miliar dolar AS dari nilai pasar perusahaan bimbel China yang terdaftar di luar negeri dalam waktu seminggu.
Belum jelas berapa banyak total pekerjaan yang hilang karena tindakan keras China tersebut. Namun, mantan pejabat pendidikan Wang Wenzhan mengatakan Juli lalu, ada hampir 1 juta institusi di negara itu yang berfokus pada bimbel setelah sekolah, yang mempekerjakan sekitar 10 juta orang. Pada Desember 2021, Kementerian Pendidikan China mengumumkan pihak berwenang telah menutup 84 persen lembaga bimbel online dan offline di negara tersebut.
Yu yang mendirikan New Oriental pada 1993, mengatakan, perusahaan telah sepenuhnya menutup operasi bimbel untuk mata pelajaran inti sekolah. Selanjutnya, akan fokus pada pengajaran mata pelajaran lain - musik atau olahraga, yang bukan bagian dari kurikulum inti di China - menyediakan layanan bimbel untuk mahasiswa, dan menawarkan kursus bahasa Mandarin di pasar luar negeri. New Oriental juga telah menyiapkan platform live-streaming e-commerce yang berfokus pada penjualan produk pertanian.
"Bekerja keras, belajar keras, dan mencoba mencari arah baru. Ini harus menjadi tiga tema utama saya untuk 2022," ujar Yu.
Editor: Jujuk Ernawati