Program 3 Juta Rumah dan Kenaikan Kuota Subsidi, Mampukah Pekerja Bergaji UMR Ikut Beli?
Sebagai informasi, UMP 2025 tercatat, yakni sekira Rp5,5 juta per bulan. Namun, berbagai survei menunjukkan bahwa biaya hidup layak di ibu kota mencapai Rp6–7 juta per bulan, membuat para pekerja menghadapi defisit 20–40 persen bahkan sebelum memikirkan cicilan rumah.
Banyak pekerja bergaji UMR merasa penghasilan mereka bahkan belum cukup untuk kebutuhan bulanan, apalagi menabung untuk uang muka rumah. Tak sedikit dari mereka yang hidup dengan penghasilan yang fluktuatif. Ketakutan terbesar pun bukan hanya gagal punya rumah, tapi juga kehilangan rumah kalau tidak sanggup membayar cicilan.
Dengan kondisi seperti ini, menabung untuk uang muka (DP) atau menjaga kestabilan cicilan jangka panjang menjadi tantangan berat. Tak heran, jika banyak pekerja UMR akhirnya menunda niat membeli rumah dan memilih alternatif lain yang lebih realistis.
Beragam faktor struktural dan ekonomi masih menjadi hambatan utama yang membuat Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sulit memiliki rumah, antara lain seperti berikuti:
1. Keterbatasan Daya Beli di Tengah Gaji Defisit
Daya beli adalah akar masalah. Dengan gaji yang sudah defisit, menabung untuk Uang Muka (DP) dan memastikan stabilitas cicilan jangka panjang menjadi sangat sulit, apalagi jika harus menanggung biaya hidup keluarga.
2. Lokasi Jauh, Biaya Transportasi Lebih Mahal dari Cicilan?
Inilah alasan utama mengapa banyak unit rumah subsidi yang sudah dibangun, meski kuotanya besar, kurang diminati. Rumah bersubsidi terletak di pinggiran kota, yang membuat: Jarak tempuh ke tempat kerja jauh dan biaya transportasi dari lokasi pinggiran bisa melonjak tinggi, bahkan melebihi cicilan per bulan.