Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Harmas Respons Gugatan PKPU Bukalapak yang Tuntut Pengembalian Dana Rp6,46 Miliar
Advertisement . Scroll to see content

Tingkatkan Iklim Usaha dan Daya Saing Indonesia, Revisi UU Kepailitan dan PKPU Mendesak Dilakukan

Kamis, 26 Oktober 2023 - 20:13:00 WIB
Tingkatkan Iklim Usaha dan Daya Saing Indonesia, Revisi UU Kepailitan dan PKPU Mendesak Dilakukan
Pengadilan Negeri/Niaga/HAM/Tipikor dan Hubungan Industrial Jakarta Pusat, menjadi salah satu pengadilan untuk kasus kepailitan dan PKPU. (Foto: istimewa)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id – Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mendesak dilakukan. Hal itu, untuk meningkatkan iklim usaha dan daya saing Indonesia dengan negara lain. 

Pernyataan itu, disampaikan Managing Partner Dwinanto Strategic Legal Consultant (DSLC), Rizky Dwinanto, menyoroti UU Kepailitan dan PKPU yang telah berusia 19 tahun dan tak lagi relevan dengan perkembangan dunia usaha saat ini.

"Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 saat ini telah berusia 19 tahun, sehingga perlu direvisi agar bisa mengikuti dinamika dan perkembangan ekonomi yang semakin kompleks," kata Rizky, di Jakarta, Kamis (26/10/2023). 

Menurut dia, sebagai salah satu negara emerging market di Asia, Indonesia memiliki dinamika ekonomi yang membutuhkan adanya kepastian dan penguatan hukum untuk menjamin iklim usaha tetap menarik bagi investor asing. Salah satunya, terkait dengan penyelesaian masalah utang-piutang antara debitur dan kreditur.

Rizky menjelaskan, seiring ekosistem bisnis yang semakin kompleks dan melampaui batas negara, UU Kepailitan dan PKPU ternyata menjadi kurang mampu memberikan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur atau para pihak yang berselisih.

Dia menilai kehadiran UU Nomor 37/2004 seharusnya ditujukan untuk melindungi debitur yang mengalami kendala dalam berusaha atau berbisnis. Melalui UU tersebut, debitur yang mengalami kesulitan dalam berusaha sehingga terkendala dalam menunaikan kewajiban pembayaran utangnya kepada kreditur, dapat mengajukan skema PKPU.

Namun saat ini, lanjutnya, UU Kepailitan dan KPPU justru dijadikan alat atau skema hukum untuk melakukan penagihan utang oleh kreditur kepada debitur. Akibatnya, mayoritas permohonan PKPU dan pailit di Indonesia justru lebih banyak datang dari kreditur. 

“Kalau berangkat dari fenomena saat ini, ketika utang belum terbayar 2 bulan sudah dimohonkan PKPU, lalu utang Rp100 juta belum terbayar sudah diajukan PKPU. Ini akhirnya jadi moral hazard. Seharusnya kita lihat dulu kondisi perusahaan debitur dan kondisi ekonomi saat ini. Supaya jangan sedikit-sedikit digugat PKPU atau pailit,” tutur Rizky. 

Untuk itu, dia menilai revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 mendesak dilakukan, agar sesuai dengan perkembangan zaman dan kondisi perekonomian saat ini, sehingga iklim usaha Indonesia semakin menarik. 

Sementara Presiden Direktur AJ Capital, Geoffrey D. Simms, mengatakan dalam sistem ekonomi yang semakin kompleks dan terhubung (melampaui batas negara), hukum atau peraturan harus dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan yang sama, baik bagi kreditur maupun debitur.

Menurut dia, penegakan hukum kepailitan yang kuat dan konsisten berdasarkan hukum atau peraturan yang relevan dapat membantu meminimalkan risiko penyalahgunaan proses kepailitan, yang dapat berdampak negatif pada para pemegang saham dan kreditur.

Di sisi lain, lanjutnya, ketidakpastian penyelesaian yang adil dalam putusan kepailitan dikhawatirkan dapat meningkatkan persepsi risiko dalam pemberian pinjaman. Akibatnya, lembaga keuangan mungkin memandang pinjaman kepada individu atau perusahaan di Indonesia lebih berisiko, karena tidak yakin dengan prosedur dan perlindungan hukum yang akan diberikan dalam proses kepailitan. 

“Oleh karena itu, untuk mengkompensasi risiko yang lebih tinggi, mereka mungkin menawarkan tingkat bunga yang lebih tinggi. Dengan demikian biaya peminjaman akan naik dan ekonomi secara keseluruhan akan menjadi lebih buruk,” ungkap Simms.

Untuk itu, revisi UU Nomor 37 Tahun 2004 perlu segera dilakukan, mengingat peraturan dalam penyelesaian kepailitan menjadi salah satu indikator penilaian dari Bank Dunia dalam indeks Ease of Doing Business (EoDB) Bank Dunia.

Berdasarfkan laporan EoDB Bank Dunia pada 2020, peringkat Indonesia dalam topik Resolving Insolvency berada di posisi 38 dunia. Jika dibandingkan dengan sesama negara di Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Thailand yang berada di posisi 24 dan Singapura di peringkat 27. 

Editor: Jeanny Aipassa

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut