Cabut Blokade, Libya Resmi Buka Kembali Ladang Minyak Terbesar
TRIPOLI, iNews.id - Libya mengambil kebijakan besar dengan membuka kembali ladang minyak terbesarnya, untuk menghidupkan kembali industri minyak yang telah lama rusak. Itu diketahui setelah perusahaan energi negara Libya, National Oil Corp (NOC) mencabut keadaan kahar (force majeure) di deposit barat ladang minyak terbesar, Sharara.
Ladang tersebut pada awalnya akan memompa 40.000 barel minyak mentah sehari, dengan kebijakan baru itu maka akan menggandakan produksi keseluruhan Libya menjadi sekitar 600.000 barel per hari (bph). Sharara dijalankan sebagai usaha patungan antara NOC, Total SE Perancis, Repsol SA Spanyol, OMV AG Austria dan Equinor ASA Norwegia.
“Kami telah mencapai kesepakatan yang terhormat dengan milisi, yang dikenal sebagai penjaga fasilitas minyak, yang berada di dekat Sharara. Milisi berkewajiban untuk mengakhiri semua rintangan yang menghambat operasi. Ini terwujud setelah pembicaraan yang disponsori PBB bulan ini di Mesir, tentang pemulihan keamanan di fasilitas minyak Libya,” ujar juru bicara NOC dikutip dari Bloomberg Senin (12/10/2020).
Diketahui, Libya memproduksi 1,2 juta bph tahun lalu. Namun, sejak Komandan Khalifa Haftar yang berkuasa di Libya Timur memblokade pelabuhan dan ladang pada pertengahan Januari lalu, Libya hanya mampu memompa kurang dari 100.000 bph, sebagian besar dari ladang lepas pantai. Sejak September lalu, Haftar telah berjanji akan mengizinkan produksi minyak dimulai kembali setelah blokade selama delapan bulan.
Pembukaan kembali Sharara menyusul gencatan senjata dalam perang saudara yang telah berlangsung lama di Libya. Dengan adanya penghentian konflik membuat banyak ladang minyak dan pelabuhan di timur mulai beroperasi kembali setelah hampir ditutup total sejak Januari lalu.
“Mulai dibuka kembali ladang minyak terbesar Libya menjadi momentum yang lebih cepat dari yang diperkiraan kebanyakan orang. Kemungkinan lebih banyak ekspor dari Libya menjadi angin sakal tambahan untuk OPEC, yang sudah bergulat dengan lemahnya permintaan karena gelombang kedua Covid-19," kata Bill Farren-Price, direktur di perusahaan analitik energi Enverus.
Editor: Ranto Rajagukguk