Kasus Korupsi Ekspor Benur, Effendi Gazali Sebut Edhy Prabowo Kecolongan
JAKARTA, iNews.id - Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo hingga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait ekspor benih lobster (benur) masih hangat diperbincangkan. Ketua Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2-KKP) Effendi Gazali mengungkapkan fakta penyebab munculnya peluang korupsi.
Effendi menyebut ada perbedaan antara Permen Nomor 12 tahun 2020 tentang pengelolaan lobster, kepiting, dan rajungan di wilayah Indonesia dengan draf rancangan permen itu sebelumnya.
Dia mengatakan, draf rancangan Permen No 12 tahun 2020 itu sebelumnya telah melalui proses konsultasi publik sebanyak dua kali, lalu dilakukan perbaikan demi perbaikan yang dilakukannya bersama 14 orang penasihat ahli sebelum akhirnya diserahkan ke Edhy Prabowo selaku Menteri KKP untuk diterbitkan.
“Ternyata setelah dicek drafnya berbeda dengan permen yang keluar. Kemudian, saat bulan puasa kemarin, di rumah Pak Menteri (Edhy Prabowo), saya bicara... Pak permen ini ada perbedaan dengan draf yang kami buat sebagai hasil konsolidasi dari penasehat ahli’, pak menterinya mengakui ‘oh iya saya kecolongan ya’,” ujar Effendi, dalam podcast di kanal YouTube Deddy Corbuzier, Selasa (1/12/2020).
‘Kecolongan’ tersebut, kata Effendi, berhubungan erat dengan nilai ekspor benur yang amat menggiurkan. Di mana bisa mencapai Rp10,2 triliun per tahun.
Seperti diketahui, saat menjabat sebagai Menteri KKP, Edhy mengubah regulasi era Susi Pudjiastuti, yaitu Permen No 56 Tahun 2016 yang melarang keras penangkapan ekspor benih lobster, kepiting, dan rajungan dari indonesia.
Effendi menyebut, draf rancangan permen yang telah dirinya dan penasihat ahli lainnya perbaiki diklaim mampu menghalangi peluang korupsi yang kini menjerat nama Edhy Prabowo. “Sudah diantisipasi betul, hampir tidak ada peluang untuk korupsi, saya termasuk di dalam penasihat ahli, namun permen yang terbit berbeda dengan draf itu. Ini berhubungan dengan kekuatan Rp10,2 triliun tadi,” katanya.

Effendi menjelaskan, dirinya bersama beberapa organisasi dan lembaga juga telah menyoroti kekeliruan soal pengangkutan ekspor benur yang sarat monopoli. Khususnya mekanisme pengiriman benur yang mengharuskan eksportir harus menjadi anggota asosiasi ekspor, serta biaya angkut yang lebih mahal.
“Ternyata itu tidak ada dasar hukumnya, jadi orang kalau mau jadi eksportir lobster itu harus masuk anggota asosiasi, lalu hanya boleh kirim lewat kargo khusus di Jakarta dan Surabaya, ditambah lagi dengan harus bayar Rp1.800 per ekor. Padahal. jika tidak lewat kargo itu cukup Rp200 saja,” kata Effendi.
Bahkan, lanjut dia, ada indikasi kekeliruan negara yang mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk ekspor yang ternyata tidak memiliki dasar hukum. “Betul itu memungkinkan timbulnya korupsi, dari selisih biaya angkut Rp1.800 dengan Rp200 per ekor dikali saja dengan 37 juta ekor benur yang sudah dikirim, ada nilai sekitar Rp60 miliar. Padahal itu tidak ada dasar hukumnya," ujarnya.
“Bahkan agak kacau juga, ada PPN di atas itu. Jadi ini menarik jika didengar teman-teman Kementerian Keuangan, kenapa bisa ada PPN di atas pungutan yang tidak ada dasar hukumnya,” kata Effendi.
Editor: Dani M Dahwilani