Kilas Balik Pembangunan Jalan Raya Payakumbuh Tahun 1890, Gerbang Ekonomi Baru Sumatera Barat
JAKARTA, iNews.id - Sekitar abad ke-15 di Sumatera, jalan setapak hanya digunakan oleh orang gunung yang membutuhkan garam. Mereka bepergian ke wilayah pesisir untuk membuat atau membeli garam. Hal ini juga menjadi alasan mengapa orang yang tinggal di pantai umumnya berasal dari suatu daerah di pedalaman pada garis lintang yang sama.
Dengan munculnya beberapa pelabuhan perdagangan di pantai, hubungan antara pesisir dan pedalaman berubah menjadi ikatan ekonomi baru. Sejak saat itu, jalan setapak yang disebut dagang jalan (jalan perdagangan) mulai dilalui oleh pedagang. J. A. van Rijn van Alkemade menyatakan, pergeseran fungsi utama jalan setapak dari jalan garam ke jalan perdagangan terjadi pada abad ke-14 atau ke-15.
Dilansir dari buku 'Jalan di Indonesia dari Sabang sampai Merauke' yang disusun oleh Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Rabu (9/12/2020), beberapa jalan pedalaman ke pangkalan, panambatan dan pamuatan yang populer. Di antaranya, dari utara ke selatan, jalan dari Rao ke Pamuatan Rambah (di Sungai Rokan), jalur dari Payakumbuh ke Pangkalan Koto Baru (di Sungai Kampar Kanan), dan jalan dari Tanah Datar dan Sijunjung ke Pangkalan Kureh (di Sungai Kuantan).
Pembangunan jalan yang ada memfasilitasi munculnya beberapa populasi pusat. Banyak desa yang berlokasi strategis, misalnya dekat rumah peristirahatan pemerintah, pos penjagaan militer, atau persimpangan berkembang menjadi kota kecil atau bahkan yang cukup besar, seperti halnya Sicincin, Kayu Tanam, Padang Panjang, Matua, Bonjol, Bukittinggi, dan Payakumbuh.
Pembangunan jalan juga turut meningkatkan jumlah pasar dan mengubah metode distribusi beberapa komoditas. Jalan pertama yang dibangun di Sumatera Barat dibangun menghubungkan Padang bagian dalam, dengan Padang Panjang khususnya, melalui Lembah Anai (Anai Jurang), di atas bekas jalan dagang tersebut. Konstruksi dimulai pada 1833 dan selesai tahun 1841.