Pemerintah Batal Naikkan Cukai Rokok 2025: Tantangan Baru Kendalikan Prevalensi Perokok
Pricilla Evelyn Audy
Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia
KEMENTERIAN Keuangan (Kemenkeu) menyatakan, pemerintah tidak akan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok pada 2025 mendatang. Hasil ini diungkapkan dalam rapat terakhir DPR terkait Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Alasan utama pembatalan adalah kekhawatiran pemerintah akan peningkatan jumlah peredaran rokok ilegal yang mungkin semakin sulit diberantas. Sikap Pemerintah menimbulkan kecemasan bagi berbagai pihak, terutama terkait upaya pengendalian prevalensi perokok di masa mendatang, mengingat cukai rokok memainkan peran penting dalam menekan konsumsi rokok di Indonesia.
Mengapa Cukai Rokok Penting?
Pada dasarnya, konsumsi rokok di Indonesia harus ditekan secara komperhensif, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Secara fiskal, hal ini bisa dilakukan lewat pengenaan cukai terhadap produk hasil tembakau.
Berdasarkan UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 1995, cukai berfungsi sebagai alat pengendali produk-produk yang berpotensi mengakibatkan eksternalitas negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
Peningkatan cukai biasanya menyebabkan kenaikan harga rokok yang pada gilirannya dapat menurunkan jumlah perokok, terutama di kalangan remaja dan masyarakat berpenghasilan rendah. Bersamaan dengan upaya melindungi kesehatan masyarakat (fungsi regulerend), cukai juga dapat meningkatkan penerimaan negara (fungsi budgetair).
Tren Peningkatan Persentase Perokok di Indonesia
Melihat angka perokok yang selalu meningkat, prevalensi jumlah perokok perlu dikendalikan atau bahkan dikurangi untuk mencegah dampak negatif dari perilaku merokok, terutama dalam hal kesehatan. Meski telah ditetapkan pita cukai yang tinggi pada rokok, kenyataannya di lapangan, prevalensi perokok di Indonesia cenderung meningkat setiap tahunnya.
Menurut Laporan Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia 2021, sebanyak 34,5 persen orang dewasa atau sekitar 70,2 juta individu menggunakan tembakau. Tingkat konsumsi tembakau pada pria mencapai 65,5 persen, sedangkan pada wanita hanya sebesar 3,3 persen.
Penggunaan rokok elektrik mengalami peningkatan signifikan, naik 10 kali lipat dalam satu dekade, dari 0,3 persen pada 2011 -saat GATS sebelumnya dilakukan- menjadi 3 persen pada 2021 (WHO Indonesia).
Bagaimana Dampak bagi Prevalensi Perokok Indonesia Tahun Mendatang?
“Padahal bisa kita lihat dari tahun-tahun sebelumnya, penerimaan negara mulai membaik di tahun 2023 pasca pandemi COVID-19. Kemudian realisasi cukai juga membaik, indeks kemahalan juga membaik. Maka jika tahun 2025 tidak ada kenaikan cukai, maka semua akan turun lagi. Maka potensi untuk meningkatkan prevalensi akan naik lagi,” kata Nina Samidi, program manager Komnas Pengendalian Tembakau.
Dengan tidak menaikkan tarif cukai, kata dia, pemerintah tidak menjalankan fungsi utama cukai, yaitu pengendali produk berbahaya sebagaimana mestinya serta mencerminkan inkonsistensi terkait perencanaan dan target CHT yang telah dipertimbangkan sebelumnya, meliputi: kesehatan, pekerja, penerimaan negara, dan peredaran rokok ilegal.
Timboel Siregar, koordinator advokasi BPJS Watch juga memberikan pendapat yang sama, terutama di bidang kesehatan, “Dengan tidak naiknya cukai tahun depan, upaya menurunkan permintaan rokok dan perokok menjadi terhambat."
Karena saat ini hampir seluruh masyarakat Indonesia berpartisipasi dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS. Per 31 Desember, Kemenkes mencatat setidaknya ada 267.311.566 jiwa atau 95,75 persen dari total penduduk Indonesia yang terdaftar BPJS.
Dengan begitu, ketika prevalensi perokok tahun 2025 diperkirakan meningkat akan bertambah pula angka kasus penyakit katastrofik akibat rokok yang menyebabkan melonjaknya ongkos kesehatan yang ditanggung pemerintah.
Maka dari itu investasi dalam kebijakan pengendalian tembakau, seperti cukai rokok yang tinggi dan dukungan bagi program penghentian merokok, dapat membantu mengurangi beban-beban tersebut.
Cukai Rokok Batal Naik: Pemerintah Siapkan Langkah Lain
Aslokani, direktur jenderal Bea Cukai, mengatakan tarif CHT atau cukai rokok akan tetap, namun pemerintah memiliki alternatif pengendalian peningkatan Harga Jual Eceran (HJE) pada produk hasil tembakau tersebut. HJE merupakan harga yang ditetapkan pedagang kepada konsumen akhir.
Harga ini sudah mencakup cukai dan wajib dicantumkan pada pita cukai. Besaran HJE bervariasi tergantung pada jenis atau golongan rokok.
Meskipun tarifnya tidak dinaikkan, Febrio Kacaribu, kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), mengatakan tarif HJE akan ditingkatkan tetapi besarannya belum disebutkan karena masih dalam tahap perumusan oleh BKF.
Pemerintah menganggap, kenaikan HJE menjadi jalan yang ideal karena harga jual produk hasil tembakau terus meningkat agar semakin tidak terjangkau.
Editor: Anton Suhartono