Banjir Melanda Sejumlah Daerah, Anak-Anak Jadi Kelompok Paling Rentan Penyebaran Penyakit
JAKARTA, iNews.id - Banjir yang melanda sejumlah daerah di Indonesia, anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Banjir dapat meningkatkan risiko beberapa penyakit berbahaya, terutama bagi anak-anak yang sistem kekebalan tubuhnya masih berkembang.
Terdapat beberapa penyakit yang perlu diwaspadai saat musim banjir. Pertama, diare dan penyakit pencernaan. Banjir sering mencemari sumber air bersih dengan bakteri, virus, atau parasit seperti E coli, Salmonella, atau Vibrio cholerae (penyebab kolera). Anak-anak rentan terkena diare, muntah, dan dehidrasi akibat mengonsumsi air atau makanan yang terkontaminasi.
Kedua, Leptospirosis. Penyakit ini disebabkan bakteri Leptospira yang menyebar melalui air banjir yang terkontaminasi urine hewan, terutama tikus. Gejalanya meliputi demam tinggi, sakit kepala, nyeri otot, dan muntah. Jika tidak ditangani, dapat menyebabkan komplikasi serius.
Ketiga, Demam Berdarah Dengue (DBD). Banjir dapat meninggalkan genangan air yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti, vektor penyebab DBD. Anak-anak rentan mengalami demam tinggi, ruam, dan perdarahan jika terinfeksi.
Keempat, infeksi saluran pernapasan. Kondisi lembap dan dingin selama banjir dapat memicu infeksi saluran pernapasan, seperti flu, batuk, atau pneumonia. Anak-anak dengan sistem imun lemah lebih rentan mengalami komplikasi.
Kelima, penyakit kulit. Kontak langsung dengan air banjir yang kotor dapat menyebabkan iritasi kulit, gatal-gatal, atau infeksi seperti dermatitis.
Sebab itu, diperlukan upaya perlindungan menyeluruh, mulai dari memperkuat kesiapsiagaan komunitas dan sistem peringatan dini, hingga memastikan mereka mendapatkan informasi yang tepat tentang cara bertindak selama banjir, agar dampak buruknya dapat diminimalkan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 1 Januari hingga 8 Desember 2024, banjir tercatat sebagai bencana yang paling sering terjadi di Indonesia sebanyak 962 kejadian. Salah satu wilayah yang terdampak adalah Kecamatan Rancaekek di Kabupaten Bandung. Ketika banjir melanda, banyak rumah terendam dan aktivitas sekolah terganggu. Anak-anak, sebagai kelompok paling rentan, tidak hanya menghadapi risiko kesehatan, tetapi juga mengalami hambatan dalam mengakses pendidikan.
"Kondisi ini menegaskan perlunya membangun ketangguhan masyarakat, mulai dari kesiapan komunitas, penguatan sistem peringatan dini, hingga pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan," ujar Chief of Partnership Strategic and Program Operation, Save the Children Indonesia, Rosianto Hamid dalam keterangan persnya, Sabtu (1/2/2025).
Dia menuturkan dalam kasus bencana banjir yang melanda Rancaekek, Jawa Barat, untuk mengurangi dampak banjir bagi anak-anak, Save the Children Indonesia bersama Yayasan SHEEP Indonesia, The Korea Financial Industry Foundation (KFIF) dan Save the Children Korea, berupaya menjalankan program Ketangguhan Masyarakat Berbasis Lanskap (KMBL). Langkah ini bertujuan meningkatkan ketangguhan masyarakat melalui pendekatan lanskap dari hulu ke hilir, penguatan sistem peringatan dini, dan tata kelola pengurangan risiko bencana yang partisipatif, dengan fokus pada kelompok rentan seperti anak-anak, disabilitas, dan perempuan.
Program KMBL melakukan serangkaian strategi untuk memastikan pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Pertama, mengidentifikasi kesenjangan dalam sistem peringatan dini serta kerentanan infrastruktur terhadap banjir untuk memahami titik lemah yang harus diperkuat agar respons terhadap banjir lebih efektif.
Kedua, pembentukan Satuan Tugas Siaga Warga Rancaekek, penyusunan rencana aksi, dan pengembangan Standard Operating Procedures (SOP) untuk memastikan bahwa komunitas memiliki panduan yang jelas dalam merespons banjir.
Ketiga, bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Daearah (BPBD) setempat untuk memperkuat sistem peringatan dini yang telah ada dengan menginstalasi alat tambahan di lokasi-lokasi strategis. Upaya ini bertujuan mendukung dan memperkuat sistem yang telah diterapkan oleh BPBD, sehingga sistem peringatan dini di wilayah tersebut menjadi lebih efektif dan menyeluruh.
Keempat, melakukan pelatihan kapasitas, simulasi, serta edukasi kepada masyarakat, termasuk anak-anak, terkait langkah-langkah menghadapi banjir dan pentingnya menjaga lingkungan seperti menanam pohon sebagai bagian dari upaya pengurangan risiko banjir. Hal ini untuk menanamkan kesadaran dan mendorong keterlibatan anak dan orang muda dalam menciptakan lingkungan yang tangguh dan berkelanjutan.
Rosianto menerangkan, kolaborasi yang erat antara berbagai pihak sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan berkelanjutan bagi anak-anak dan masyarakat. Melalui program ini, diharapkan masyarakat tidak hanya lebih siap menghadapi banjir, tapi juga memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya menjaga lingkungan, serta berperan aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana.
Editor: Dani M Dahwilani