Dipecat IDI, Ini Metode Cuci Otak Dokter Terawan
JAKARTA, iNews.id – Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) memecat sementara Kepala RSPAD Gatot Soebroto Mayjen TNI dr Terawan Agus Putranto Sp Rad (K) sebagai anggota. Dokter Terawan dinilai melakukan pelanggaran etik berat (serious ethical misconduct) terkait dengan metode cuci otak yang digunakannya.
Pemecatan sementara ini pun menuai reaksi publik. Dr Terawan selama ini sangat dikenal sebagai ahli penyembuhan penyakit yang menyerang syarat, misalnya stroke. Pasiennya juga tidak hanya dari kalangan masyarakat biasa, tetapi juga tokoh-tokoh penting negara ini.
Dr Terawan identik dengan metode brain wash alias cuci otak yang dikembangkannnya. Metode ini memang tidak dikenal dalam dunia kedokteran. Istilah medis lebih mengenalnya sebagai metode digital substraction angiography (DSA).
Walaupun metode ini sempat dipertanyakan beberapa pihak karena banyak yang beranggapan belum ilmiah dan tidak dilakukan oleh ahlinya, nyatanya metode ini sukses menyembuhkan penderita stroke ringan ataupun berat.
“Brain washing atau cuci otak itu tidak ada dalam istilah medis, yang dikenal itu DSA yang kami modifikasi dengan tujuan meningkatkan keamanan bagi pasien, keamanan dari radiasi, dari ancaman pada ginjalnya dan keamanan dari teknik tindakannya,” kata dr Terawan dalam wawancara dengan Koran Sindo beberapa waktu lalu, dikutip Selasa (3/4/2018).
Gambaran metode DSA. (Foto: Ist)
Menurut Terawan, metode modifikasi DSA ini dimulai dengan pemeriksaan detail terhadap pasien menggunakan diagnostik yang paling canggih lalu dilakukan check-up dahulu. Pengecekan otak dimulai dengan MRI lalu neurologis melalui peralatan yang tersedia di RSPAD.
“Kalau berkaitan dengan sesuatu yang ada di otak, seperti tumor perdarahan akan berkaitan dengan bedah syaraf lalu membuat tim yang langsung merapat sesuai dengan kelainan yang ada,” ujar alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Terawan menjelaskan, jika kelainan itu ada di otak atau seluruh tubuh, dokter-dokter lain seperti dokter penyakit dalam, ahli diabet, ahli jantung, bersama-sama membantu menemukan diagnosis yang pasti pada pasien.
Setelah ditemukan sesuatu, dia akan memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan. ”Apakah harus melakukan DSA untuk menentukan diagnostik sekaligus melakukan tindakan lanjutannya,” kata dia.
Setelah itu, menurut Terawan, timnya akan melakukan modifikasi dalam DSA sehingga keamanan pada pasien terjamin dan keadaan pasien jauh lebih baik karena didiagnosis dengan tepat.
Dokter yang menempuh spesialis radiologi di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini melanjutkan, cara modifikasi dari DSA yang telah dikembangkannya. Modifikasi tersebut dimulai dengan menurunkan dosis radiasi DSA biasa yang biasanya di atas 300 satuan radiasi, diturunkan menjadi 25 satuan radiasi dalam DSA biasa.
Dokter Terawan (dua dari kanan). (Foto: Koran Sindo).
Cairan kontras yang diperlukan adalah 100 cc yang bisa membebani ginjal dan cukup berat, dalam modifikasi DSA kontras diturunkan menjadi 10 cc.
“Hampir semua rumah sakit di Indonesia sudah melakukan metode ini karena saya telah menyebarkannya sejak 2006. Metode ini sudah melayani puluhan ribu pasien, tiap tahun bisa 3.000 pasien,” tuturnya. Menurut dia, metode ini mengacu pada diagnostik yang tepat.
“Setiap pasien kita anggap sama dengan detail karena tidak boleh terlewat. Ini mengenai otak. Kami juga membentuk tim supaya keselamatan pasien menjadi prioritas. Metode ini pengerjaannya rata-rata memakan waktu 25 menit dan melayani pasien stroke perdarahan maupun nonperdarahan,” katanya.
Sebenarnya metode ini bisa dilakukan kapan saja karena otak itu dinamis, berubah setiap tahun bergantung pasien melakukan check-up berkala. Check-up itu menunjukkan harus ditangani kembali atau tidak dan tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan kembali untuk meningkatkan kualitas otak.
Bagaimana cara kerjanya? Terawan memulai dengan memasukkan selang kecil (kateter) ke dalam pembuluh darah lalu ke otak, mengecek semua isi otak.
”Apa yang kita temukan di sana, apakah ada penyempitan, penggelembungan, penyumbatan di arteri atau di vena, dan menentukan tindakan lanjut yang kita gunakan,” ungkap perwira tinggi TNI AD yang telah dianugerahi Bintang Mahaputra Naraya pada 2013 ini.
Menurut Terawan, sampai saat ini metode DSA yang telah dikembangkannya belum ada efek samping. Namun, dia tetap terus mewaspadai segala kemungkinan. Dia juga mengatakan, metode ini lebih efisien karena waktu pengerjaannya yang cepat.
Dalam melakukan teknik DSA ini, semua tindakan medis dilakukan secara terbuka, siapa pun dapat memantaunya melalui monitor, termasuk keluarga pasien.
Editor: Zen Teguh