Kasus DBD Mei 2024 Naik, Kemenkes Ingatkan untuk Waspada Demam Berdarah di Musim Kemarau
JAKARTA, iNews.id - Demam berdarah merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini masih menjadi isu utama di Indonesia karena jumlahnya yang meningkat.
Kasus DBD berhasil diturunkan sekitar 35 persen pada 2023 dan awal 2024. Namun, pada minggu ke-22 pada 2024, kasus DBD kembali mengalami kenaikan mencapai 119.709 kasus. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan total kasus DBD pada 2023 yang mencapai 114.720 kasus.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi mengatakan, kemarau diperkirakan akan meningkatkan frekuensi gigitan nyamuk. Sebab, nyamuk akan sering menggigit ketika suhu meningkat.
“Jadi, kita dapat penelitian, waktu suhunya 25 derajat celcius itu nyamuk menggigitnya 5 hari sekali. Tapi, kalau suhunya 20 derajat celcius, nyamuk akan menggigit 2 hari sekali. Ini dapat meningkatkan potensi kasus terjadi saat Juli dan Agustus saat suhu udara tinggi,” kata Dokter Imran Pambudi di Kantor Kemenkes.
Dokter Imran menambahkan, kasus DBD di Indonesia mengalami pemendekan siklus, yang mengakibatkan peningkatan Incidence Rate (IR) dan penurunan Case Facility Rate (CFR). “Terjadi pemendekan siklus tahunan dari 10 tahun menjadi 3 tahun bahkan kurang, yang disebabkan oleh fenomena El Nino,” kata dia.
Dokter Imran juga mengingatkan kepada masyarakat untuk mewaspadai demam berdarah. Sebab, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sampai dengan 5 Mei 2024, terdapat 91.269 kasus DBD di Indonesia dengan kematian sebanyak 641 kasus. Angka ini naik tiga kali lipat dari periode yang sama di tahun 2023 yaitu 28.579 kasus dengan kematian sebanyak 209.
Dia menambahkan, Kementerian Kesehatan mengapresiasi PT Takeda Innovative Medicines sebagai mitra dalam memerangi DBD di Indonesia. "Menangani penyakit endemik seperti DBD memerlukan sinergi yang kuat antar pemerintah, sektor swasta, industri, dan masyarakat. Sejalan dengan tema yang digalakkan pemerintah untuk peringatan Hari Dengue ASEAN tahun ini, yaitu ‘Bersama Lawan Dengue’, Kemenkes sangat terbuka untuk bekerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia," katanya.
Menurutnya, berbagai upaya telah dilakukan bersama, mulai dari penerapan Gerakan 3M Plus yang berkesinambungan, yang sudah dilakukan selama lebih dari satu dekade, Gerakan satu Rumah satu Jumantik (G1R1J), yang telah terbukti membantu menekan kasus DBD di banyak daerah, serta teknologi nyamuk ber-Wolbachia yang telah diimplementasikan beberapa waktu lalu.
"Namun demikian, kasus dengue yang meningkat sangat signifikan di awal tahun ini, menjadi alarm bagi kita semua untuk dapat mencari solusi inovatif yang dapat melengkapi upaya-upaya tersebut. Salah satu yang sedang dipertimbangkan adalah dengan mengenalkan vaksin, khususnya di daerah-daerah dengan intensitas DBD tinggi," kata dokter Imran.
Andreas Gutknecht, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines mengatakan, DBD merupakan ancaman yang akan ada terus-menerus, terlepas dari musim penghujan atau bukan. Semua orang bisa terkena DBD tanpa memandang usia, di mana mereka tinggal, bahkan gaya hidup.
"Kami berkomitmen untuk memerangi DBD melalui pencegahan inovatif dengan memastikan ketersediaan akses bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Selain itu, menjalin kemitraan yang kuat bersama-sama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk mencapai tujuan bersama ‘nol kematian akibat DBD di tahun 2030’," kata Andreas.
Lebih jauh Andreas menyampaikan, dia memahami beban yang ditimbulkan oleh penyakit DBD begitu besar, baik secara finansial, maupun non-finansial. Bagi seorang individu dan keluarga, DBD meningkatkan kekhawatiran. Apalagi penyakit ini mengancam jiwa dan sampai saat ini masih belum ada obat khusus untuk mengobatinya.
Tidak hanya itu, biaya pengobatan untuk DBD juga tidak sedikit, dan biasanya memerlukan waktu 7-14 hari untuk perawatan dan pemulihan, sehingga dapat menyebabkan seseorang kehilangan produktivitasnya. Hal ini turut berdampak pada industri atau perusahaan yang juga akan mengalami penurunan produktivitas dan peningkatan beban biaya yang cukup tinggi.
Menurut Andreas, perlindungan diri yang komprehensif menjadi penting untuk dapat terhindar dari beban penyakit tersebut. "Kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk mengambil langkah proaktif dengan menerapkan gerakan 3M Plus secara konsisten dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang intervensi inovatif pencegahan salah satunya melalui vaksinasi. Mari Bersama-sama kita ciptakan lingkungan yang aman dari DBD bagi diri sendiri, anak-anak kita, keluarga kita, dan negara kita,” tutur Andreas.
Sementara itu, Prof Jarir At Thobari, ahli bidang farmakoepidemiologi dari Universitas Gadjah Mada, menjelaskan, penanganan endemik penyakit seperti demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia melalui strategi vaksinasi dapat memberikan dampak signifikan dalam menekan jumlah kasus dan mengurangi beban biaya kesehatan.
Menurut dia, hasil kajian efektivitas biaya yang dia lakukan baru-baru ini menunjukkan vaksinasi DBD tidak hanya menghemat biaya dari perspektif pelayanan kesehatan dan masyarakat, tetapi juga memberikan manfaat kesehatan yang substansial dengan mengurangi jumlah kasus DBD dan rawat inap.
"Temuan ini sejalan dengan rekomendasi terbaru dari WHO yang mendukung penggunaan vaksinasi sebagai bagian dari program kesehatan publik. Implementasi program vaksinasi DBD di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mengurangi beban ekonomi akibat penyakit ini," kata Prof Jarir.
Editor: Vien Dimyati