Kepala BKKBN Sebut Cuti Hamil 6 Bulan Untungkan Orangtua Pekerja
JAKARTA, iNews.id - Keputusan pemerintah memberikan cuti melahirkan selama 6 bulan dinilai untungkan orangtua pekerja. Selain itu, dampaknya juga positif untuk bayi karena dapat ASI eksklusif secara optimal.
Dijelaskan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dr Hasto Wardoyo Wardoyo, dengan ditetapkannya cuti melahirkan selama 6 bulan, artinya orangtua pekerja punya banyak waktu untuk bayinya.
Perlu diketahui, dalam 1.000 hari kelahiran, kehadiran orangtua untuk bayinya amat penting. Bukan hanya bagi kesehatan fisik, tapi juga mental. Dengan cuti 6 bulan, ibu pekerja bisa maksimal memberikan perhatiannya untuk anaknya.
"Penting sekali 1.000 hari kelahiran. Dengan cuti 6 bulan, diharapkan orangtua punya waktu banyak untuk bayinya dan bisa memberikan ASI eksklusif secara optimal," kata dr Hasto Wardoyo pada awal media, Jumat (9/8/2024).
Kebijakan soal cuti melahirkan 6 bulan tertuang di Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). BKKBN sendiri ternyata punya peran dalam merumuskan UU tersebut.
"Dulu BKKBN diminta untuk memberi masukan untuk regulasi tentang cuti melahirkan itu. BKKBN memasukin cuti melahirkan 6 bulan, sehingga (program pemberian) ASI eksklusif bisa jalan," kata dr Hasto.
Ia yakin kalau UU KIA, termasuk kebijakan cuti melahirkan 6 bulan akan memberi manfaat yang besar dan terasa langsung bagi orangtua pekerja yang punya banyak kesibukan.
"Mudah-mudahan UU tentang KIA ini bisa segera dilaksanakan, sehingga cuti jadi lebih panjang (6 bulan dari yang sebelumnya 3 bulan) dan orangtua bisa maksimal memberikan ASI eksklusif untuk bayinya," kata dr Hasto.
Sebagai informasi, Presiden Joko Widodo meneken UU Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan pada 2 Juli 2024.
Di dalam UU KIA itu, hak dan kewajiban ibu pekerja yang melahirkan diatur, termasuk cuti melahirkan 6 bulan. Presiden berharap, dengan UU ini perusahaan tidak melakukan diskriminasi saat merekrut pekerja perempuan.
Editor: Muhammad Sukardi